Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Kamis, 29 Oktober 2009

KEJAHATAN KERAH PUTIH SEJAK JAMAN "BAHEULA"

Pada saat ini, korupsi dan penyalahgunaan wewenang merupakan tindak kejahatan yang banyak menjadi sorotan. Pemerintah dan masyarakat berusaha untuk menghapuskan tindak kejahatan tersebut melalui berbagai macam cara. Meskipun belum menunjukkan tingkat keberhasilan yang prestisius, namun budaya takut korupsi sedang menghantua para pemegang kekuasaan dan penegak hukum.

Hal ini berbeda dengan masa Orde Baru yang tidak mengekspos kasus korupsi sebagai bahaya yang menghancurkan negara dan masyarakat. Korupsi merupakan penggunaan wewenang dan kekuasaan formal secara sembunyi-sembunyi dengan dalih menurut hukum. Onghokham mengemukakan bahwa korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan milik pribadi seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Lingkungan yang baik berkembangnya korupsi diantaranya adalah berkembangnya birokrasi patrimonial, tidak hanya dalam bentuknya yang tradisional, tetapi juga dalam bentuk baru, yakni dengan menggunakan kedok birokrasi modern. Akan tetapi birokrasi modern itu tetap dikuasai oleh nilai-nilai birokrasi patrimonial. Makalah ini berusaha untuk melakukan refleksi historis dengan cara melihat kasus-kasus korupsi pada tataran mikro di pedesaan Surakarta, terutama di sekitar kebun tebu Mangkunegaran (Colomadu dan Tasik Madu). Selain itu juga dipaparkan tentang mekanisme kontrol pemerintah dan masyarakat dalam menghilangkan tindak kejahatan korupsi tersebut.

Korupsi Kasus Dana Pemberantasan Penyakit Pes

Lingkungan birokrasi pemerintahan yang berkembang di wilayah pedesaan Mangkunegaran masih bersifat tradisional. Raja dan aparat birokrasi sampai tingkat desa masih dipandang sebagai “bapak” dari “kawula”. Persoalannya adalah apakah dalam tatanan birokrasi seperti ini tumbuh subur korupsi, dalam bentuk apa korupsi itu muncul, dan bagaimana korupsi itu dikendalikan?.

Berdasarkan data-data yang berhasil ditemukan terlihat bahwa tindak korupsi di pedesaan Mangkunegaran memang terjadi. Korupsi, terutama dilakukan oleh pejabat birokrasi pemerintahan di supra desa. Tindak korupsi itu berupa permintaan uang, barang atau upeti di luar aturan yang berlaku kepada bawahannya, serta penggelapan dana pemerintah. Tindak korupsi tentu sulit diungkap karena perilaku itu umumnya dijalankan secara rapi. Akan tetapi dengan sistem pengendalian korupsi yang baik, tindak korupsi dan dugaan korupsi dapat diproses oleh atasan atau penegak hukum di Mangkunegaran.

Selain itu yang lebih penting adalah pengendalian dari bawah, mereka yang terkena dampak dari perilaku korupsi itu. Beberapa laporan kasus dugaan korupsi terlihat bahwa pejabat pada tingkat distrik dan kabupaten memberi peluang bagi rakyat atau aparat desa pada tingkat yang lebih rendah untuk melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan atasanya. Berdasarkan laporan-laporan dari bawah itu kemudian dilakukan penyeledikan atas dugaan tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Laporan penyelidikan itu harus dibuat proces verbal dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Laporan tindak korupsi terlihat pada tahun 1916.

Laporan yang berupa proces verbal itu dibuat oleh komisi pemberantasan pes (pes bestrijding commissie), J.H.A. Logeman, Kontrolir I/c dan Raden Mas Hariya Suryasutanta, komisi W.V. Laporan itu menyebutkan, bahwa berdasarkan audit terhadap buku kas, terlihat bahwa Mantri Gunung Colo Madu , Raden Mas Ngabehi Harjasasmita telah melakukan tindak korupsi dalam penggunaan dana untuk perbaikan rumah penduduk dalam rangka pemberantasan penyakit pes. Tindak korupsi itu antara lain berupa penggelembungan harga pembelian gedek (dinding dari anyaman bambu).

Dalam buku kas ditulis f 0,75 sen per lembar, tetapi harga sesungguhnya hanya f 0,55 sampai 0,65 sen. Harga riil itu diperoleh dari laporan wong cilik (rakyat biasa) Colo Madu terhadap komisi itu.6 Komisi menanyakan ketidak cocokan itu kepada pelaku. Mantri Gunung Colo Madu memang mengakui bahwa harga gedek per lembar tidak lebih dari f 0,04 sen. Penggelembungan harga gedek perlembar karena digunakan untuk biaya angkut gedek itu dari kota Surakarta ke Colo Madu. Selain itu juga ia berkilah akan digunakan untuk memberikan uang prosen kepada penduduk yang menjaga pekerjaan. Meskipun sudah dikurangi dana-dana itu, berdasarkan perhitungan komisi biaya pembelian satu lembar gedek tidak melebihi f 0,75.

Selain menggelembungkan harga gedek, sebagai penanggung jawab pembuatan rumah untuk rakyat biasa dalam rangka pemberantasan penyakit pes, Mantri Gunung Colo Madu itu juga melakukan tindak korupsi lain. Ia menggunakan uang kas yang seharusnya segera digunakan untuk uang muka pembuatan rumah. Ini terlihat sikapnya yang begitu kebingungan ketika ada pemeriksaan tentang posisi uang kas yang dipegangnya. Pada tanggal 28 Jun 1916, pihak pemeriksa R.M.H. Suryosutanta memeriksa uang kas yang dipegang oleh pelaku. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa uang kas kurang f229,50. Setelah ditanyakan dimana posisi selisih uang itu, pelaku mengatakan bahwa yang f 200 sedang ditukarkan di Kartasura, dan yang f 29, 50 tidak dapat memberikan keterangan.

Setelah dilakukan investigasi dengan saksi lain ternyata uang f 200 itu pun juga digunakan oleh Mantri Gunung Colo Madu. Untuk dapat menunjukkan sejumlah uang itu dihadapan komisi, ternyata ia meminjam uang dari Mantri Pamajegan Gatak, Lemahbang yang datang di malam hari. Sementara itu , catatan dalam buku kas bahwa orang-orang kecil telah menerima uang muka untuk pembuatan rumah ternyata tidak benar. Sejumlah orang kecil yang diinvestigasi mengaku belum menerima uang muka. Komisi akhirnya berkesimpulan bahwa Wedana Gunung Colo Madu melakukan tindak korupsi. Oleh karena ia merupakan pejabat pemerintah Mangkunegaran, maka tindakan selanjutnya diserahkan pada pemerintah Mangkunegaran. Berdasarkan proces verbal terlihat bahwa pada masa itu telah terjadi korupsi. Korupsi dilakukan dengan cara penggelembungan harga beli barang dibandingkan dengan harga riil di pasar. Selain itu juga digunakannya uang proyek terlebih dahulu untuk kepentingan pribadi. Sementara itu pengendalian sosial dilakukan oleh pejabat birokrasi dari atas. Pungutan Liar oleh Demang Pancayuda

Korupsi juga dilakukan oleh kepala desa di wilayah Karang Anyar. Untuk keperluan pemeriksaan, pada tahun 1918 dibentuk sebuah komisi yang bertugas menyelidiki dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang demang di Desa Dayu, Kemantren Gunung Tugu, Distrik Karang Anyar, bernama Demang Pancayuda. Komisi itu terdiri dari bupati Karang Anyar, Harjahasmara dan Mantri Gunung Karang Anyar, Sumaharyama. Mereka melaporkan hasil penyelidikannya kepada Gubernur Jenederal Hindia Belanda dalam bentuk proces verbal yang ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1918. Munculnya komisi ini karena adanya keluhan yang disampaikan oleh sejumlah bekel dan nara karya yang merasa diperas oleh demang tersebut.10 Para saksi dalam pemeriksaan menyampaikan keterangannya di hadapan komisi. Kartaya, bekel desa Konang berumur 55 tahun Tindak korupsi ini mirip dengan yang terjadi pada masa Orde Baru dan masa sekarang. Korupsi dilakukan dengan cara penundaan proyek hingga menjelang batas akhir kontrak sehingga uangnya dapat diinvestasikan di tempat lain.

Selain itu juga permainan kuitansi dan laporan keuangan. menyampaikan bahwa dua bulan sebelum dilakukannya pemeriksaan oleh komisi ia dimintai uang lelesan sebesar f 1 ketika menjual sapinya. Dalam waktu yang hampir bersamaan ia juga dimintai uang lelesan sebesar f 1 ketika menjual kerbaunya. Sapawira, bekel desa Konang berumur 50 tahun menyampaikan bahwa, satu tahun sebelum diperiksa komisi ia pernah dimintai uang lelesan sebesar f 1 ketika menjual kudanya oleh Demang Pancayuda. Akan tetapi ia hanya bersedia membayar f 0,20, dan diterimanya. Ada sejumlah penduduk lain yang dimintai uang lelesan, yakni Pareja umur 33 tahun, bekel desa Puluhan; Sasemita umur 42 tahun, bekel desa Wates; Hiradikrama umur 45 tahun dengan pekerjaan nara karya tinggal di desa Wates; Hiradimeja umur 45 tahun seorang bekel yang tinggal di desa Kebak; Japawira umur 45 tahun bekel desa Ngentak; Sapawira umur 40 tahun, bekel dan tinggal di desa Kemiri; dan Kartawikrama umur 36 tahun dengan pekerjaan sebagai bekel dan tinggal di Kopenan. Ke delapan orang itu masing-masing dimintai uang lelesan seebsar 20 sen ketika menjual hewan, baik hewan itu laku-maupun tidak laku.

Selain persoalan pungutan liar dalam jual beli hewan, Demang Pancayuda juga terlibat korupsi pasca panen padi. Dalam setiap tahun sekali ia meminta padi “bawon alus” kepada bekel di wilayahnya sebanyak 2 gedeng padi untuk tiap bekel. Sembilan saksi di atas mengakui di hadapan komisi, bahwa setiap tahun sekali ia dimintai padi sebanyak 2 gedeng sebagai “bawon alus”. Tindak korupsi ini sudah berlangsung selama 8 tahun, sejak Demang Pancayuda diangkat sebagai demang di desa Dayu. Padi tersebut diterima baik oleh demang sendiri, maupun anggota keluarganya. Demang Pancayuda berkilah bahwa padi yang diterima dari sejumlah bekel dan nara karya, bukan sebagai bawon alus tetapi sebagai padi zakat. Pungutan lain terhadap penduduk yang dilakukan oleh Demang Pancayuda adalah uang untuk mendapatkan ijin memotong pepohonan di lingkungan rumahnya. Bekel Kartaya menyampaikan pada komisi bahwa Hiradikrama pernah dimintai uang sebanyak f 5 karena menebang 5 buah pohon. Kasus serupa dialami oleh Hiradikrama, ketika memotong pohon kelapa (glugu) dan nangka juga dimintai uang sebanyak f 5. Demikian pula Hiradimeja dimintai uang sebesar f 5 ketika ia memohon untuk memotong pepohonan di wilayahnya. Kartahikrama dimintai uang sebesar f 1,25 ketika meminta ijin untuk memotong pepohonan (karang kitri).

Perilaku Demang Pancayuda itu dipandang oleh komisi sebagai korupsi. Memang dalam aturan Pemerintah Mangkunegaran sorang kepala desa diperbolehkan menjadi saksi dalam jual beli di wilayahnya dan sebagai imbalannya memperoleh imbalan uang. Akan tetapi menurut Undang-Undang Mangkunegaran tanggal 13 Maret 1902 nmor 5/Q pasal 1 jumah uang yang diperoleh masing-masing saksi untuk setiap penjualan satu hewan hanya 10 sen. Akibat pelanggaran yang dilakukan oleh demang ini, komisi memberi saran yang agak lunak, yakni diturunkan pangkatnya dari demang menjadi rangga dan dipindahkan dari desa Dayu ke desa lain serta diancam akan dipecat jika mengulangi perbuatannya. Sementara itu Bupati Patih Mangkunegaran dalam rekomendasinya tertanggal 12 Desember 1918 menyatakan bahwa kepala desa itu pantas dipecat.

Data itu menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa pernah terjadi tindak korupsi yang dilakukan oleh kepala desa di wilayah Mangkunegaran. Kedua, adanya keberanian rakyat yang posisinya berada di bawah birokrasi patrimonial melaporkan adanya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pejabat desa. Ketiga, adanya tanggapan positif dari pemerintah lokal dalam menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatnya sehingga mendorong keberanian rakyat untuk mengungkapkan kasus korupsi. Akan tetapi pemerintah Mangkunegaran tidak saja percaya pada laporan yang masuk, tetapi diikuti dengan tindakan investigasi. Dengan kata lain, sistem yang dibangun oleh pemerintah Mangkunegaran memungkinkan dapat diungkapkan dan ditanganinya kasus korupsi.

Dugaaan Korupsi terhadap Demang Jayeng Pranawa.

Meskipun tidak semua laporan masyarakat tentang dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat benar-benar terjadi, namun usaha investigasi pejabat yang lebih tinggi terhadap sebuah kasus dugan korupsi menjadi sebuah keharusan. Jika memang dugaan atau keluhan masyarakat itu tidak terbukti, maka tim atau komisi yang dibentuk untuk menangani hal itu harus benar-benar dapat membuktikan bahwa dugaan itu tidak benar. Ini terlihat dalam kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Demang Jayeng Pranawa. Dugaan korupsi terhadap Demang Jayeng Pranawa bermula dari surat kaleng yang ditujukan kepada Bupati Patih Mangkunegaran. Dalam surat kaleng itu Jayeng Pranawa, wakil kepala desa Jurug diduga melakukan sejumlah tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Pertama, tiap hari melakukan turne ke desa-desa yang dianggap menyusahkan para bekel yang didatangi. Selama turne, ia meminjam uang kepada para bekel dengan cara memaksa, hingga terkumpul sebesar f 750. Oleh karena tidak selalu memiliki uang sendiri, maka para bekel harus mengeluarkan uang pajak yang seharusnya diserahkan kepada Kemantren Gunung Jagamasan. Kedua, Ia meminta uang untuk pembuatan surat kitir (surat keterangan) terhadap penduduk yang bernama Wangsadikroama, dari desa Jomboran sebesar 30 sen yang hendak menjual berasnya ke Kota Solo. Selain itu juga para bakul di desa Guthekan banyak yang diperkirakan dimintai surat kitir.

Ketiga, ia melindungi pelaku durjana koyok yang melakukan tindak kejahatan di desa Klampok, Jagamasan sebab pencurinya kenal dengannya. Akibatnya pencurinya tidak berhasil ditangkap. Jayeng Pranawa juga dituduh melakukan tindakan beberapa pelanggaran hukum lain, yaitu meminta uang kepada para bekel se desa Kranggan masing-masing 10 sen ketika mereka menjual kambing dengan alasan untuk membeli kertas. Jayeng Pranawa melakukan korupsi waktu, dalam menjalankan pekerjaannya hanya sambil lalu, ia tidak tinggal di tempat bekerja, tetapi masih tetap tinggal di Jogomasan.

Dalam surat kaleng itu juga diceritakan, bahwa perilaku buruk Jayeng Pranawa sudah sejak sebelumnya, ketika menjadi kepala desa di desa Tunjungan, Bumiharja Ketika ia ia pernah mengambil tanaman di jalan umum (capuri) berupa mangga, bambu, dan semacamnya.14 Surat kaleng itu ditanggapi oleh Bupati Patih Mangkunegaran melalui surat rahasia no. 3923/38 teranggal 23 Jun 1919 yang ditujukan kepada Wedana Gunung Jogamasan agar dilakukan pemeriksaan tentang kebenaran isi surat kaleng itu. Wedana Gunung Jagamasan akhirnya melakukan pemeriksaan dengan melakukan uji silang pada pelaku, dan saksi yang disebut maupun terkait dengan orant-orang dalam isi surat itu. Mula-mula Wedana Gunung Jagamasan melakukan pemeriksaan secara sembunyi-sembunyi (papriksan alus) terhadap para bekel yang diduga dipinjami uang.

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa isi surat kaleng itu tidak benar. Berdasarkan hasil pemeriksaan dari semua bekel di wilayah Karnggan, Jurug diperoleh informasi bahwa lama turne Jayeng Pranawa selama 203 hari ke tempat para bekel. Tujuannya adalah untuk mempercepat pembuatan keranjang tempat bibit padi dari para nara karya. Selain itu juga untuk melihat kemajuan pertanian di pedesaan. Setelah dilihat di lapangan ternyata memang pengerjaan keranjang untuk bibit sudah selesai dan sudah diisi bibit padi.15 Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa memang Jayeng Pranawa meminjam uang kepada empat orang bekel, tetapi yang dipinjam uang dari para bekel sendiri, bukan uang pajak.

Menurut pembuat laporan pemeriksaan, informasi yang diberikan oleh para saksi dianggap benar karena selain mereka bersaksi di bawah sumpah, juga tidak terbukti adanya bekel yang kether (tidak mampu) membayar pajak pada negara. Para bekel yang dipinjami uang itu adalah: Krama Dana, desa Benawa sebesar f 10,2, Kartadikrama, desa Karang sebesar f 5, Krama Semita, desa Kreten sebesar f10, dan Hargasemita, desa Gutekan sebesar f 7,50. Uang pinjaman kepada para bekel itu sudah dikembalikan pada saat pemeriksaan. Dugaan penarikan uang dalam pembuatan surat kitir juga tidak benar. Wangsadikrama yang disebut-sebut dalam surat kaleng itu tidak merasa dipungut uang dalam pembuatan kitir. Ia memang mengeluarkan uang sebanyak 30 sen untuk membelikan teh Jayeng Pranawa di Solo, tetapi itu sebagai uang talangan, yang diganti setelah kembali dari Solo. Informasi yang sama juga diberikan oleh sejumlah bekel dan bakul, bahwa ketika mereka minta surat kitir tidak dikenakan biaya.

Dugaan tindak kolusi dengan melepas tahanan, berdasarkan hasil pemeriksaan itu tidak benar. Mantri gunung itu mengatakan bahwa ia mengetahui bahwa terdakwa kasus kecu yang bernama Sasadikrama dari dukuh Ngasem, desa Nangsri itu belum kenal dengan Jayeng Pranawa. Oleh karena pada saat itu terdapat dua tahanan kecu, agar tidak timbul masalah, maka kecu satu dititipkan di rumah Jayeng Pranawa dengan dijaga aparat kelurahan Kemiri. Terdakwa melepaskan diri sendiri dan berhasil ditangkap karena usaha Jayeng Pranawa yang meminta bantuan mantri gunung dan aparat desa. Jayeng Pranawa memang belum pindah tempat bersama keluarganya di desa Jurug.

Hal itu disebabkan ada keluarganya yang sakit panas. Jayeng Pranawa sudah bertempat tinggal di desa itu dengan indekos di rumah Jasentana, bekel di desa Jurug. Berdasarkan informasi dari bekel Jurug, Jayeng Pranawa lebih banyak tinggal di desa Jurug, dan hanya sesekali mengunjungi keluarganya. Tuduhan lain juga tidak benar. Pepohonan yang ditebangi memang sudah rusak. Sementara itu bambu ori ditebang oleh Jayeng Pranawa untuk membuat pagar batas rumah loji, dan prasana desa seperi lumbung, rumah pamong dan prasarana lainnya milik pemerintah sebelum ada yang membeli. Jadi untuk keperluan negara bukan untuk keperluan pribadi. Berdasarkan hasil pemeriksaan itu, Mantri Gunung Jagamasan berkesimpulan bahwa isi surat kaleng sama sekali tidak benar. Surat kaleng itu diperkirakan hanyalah sebuah rekayasa karena merasa benci terhadap Jayeng Pranawa. Para bekel dan nara karya merasa berat dalam menjalankan program pengembangan pertanian desa yang dicanangkannya.

Catatan Reflektif

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dalam sebuah tatanan tradisional kerajaan, seperti Mangkunegaran telah terjadi mekanisme pengendalian korupsin yang cukup baik. Sebelum kasus-kasus korupsi diajukan ke pengadilan, mekanisme kontrol birokrasi terhadap tindak kejahatan korupsi aparat pemerintahan kerajaan, termasuk di tingkat pedesaaan telah dilakukan. Kontrol tidak hanya dari pejabat birokrasi yang lebih tinggi, tetapi juga dari rakyat kebanyakan. Akibat terciptanya mekanisme kontrol tersebut dapat menimbulkan efek jera dan rasa malu bagi aparat yang melakukan tindak korupsi. Aneh sekali di zaman sekarang yang memberi lebel dirinya pemerintahan modern, tetapi pengendalian pengendalian korupsi di Indonesia kurang efektif. Banyak lembaga diciptakan, tetapi tingkat keberhasilannya tidak sepadan dengan uang yang dikeluarkan oleh negara. Sehubungan dengan hal itu kita tidak usah malu untuk belajar dari kearifan masa lalu, termasuk dalam pengendalian korupsi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Braz, H.A., “Beberapa Catatan mengenai Sosiologi Korupsi”, dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott (ed.), Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta: LP3ES, 1985).

Bundel P 1785 Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran.

Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, Prisma, no. 2, tahun XII, Februari 1983.

Proces – Verbaal Pemeriksaan Comissie Pestbestrijding di Colo Madoe, dalam arsip Rekso Pustoko kode YN 966 hlm I.

Proces Verbal Kasus Demang Pancayuda, Desa Dayu, Kemantren Gunung Tugu, Distrik Karang Anyar, Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran no. P 237.

Bundel P 1785 Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran.

Wasino, Pedesaan Jawa di Bawah Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat di Wilayah Perkebunan Tebu Mangkunegaran, 1861-1942, (Disertasi belum diterbikan, Sekolah Pascasarjana UGM, 2005).

Sejarah Perkebunan di Sumatera


Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural. Bahkan dalam konteks masa lalu ada yang berpendapat bahwa sejarah kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri. Sejak awal kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal, perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan untuk merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa lalu yang ada.

Tulisan singkat ini akan membahas proses dan struktur perkembangan perkebunan dan komunitasnya sejak pertengahan abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20, ketika sektor perkebunan mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan menimbulkan pengaruh yang sangat besar baik bagi negara kolonial, para pemodal besar maupun masyarakat di Indonesia. Konstruksi ini diharapkan memberi bekal untuk memahami sejauhmanakah realitas kekinian perkebunan Indonesia merupakan lanjutan dari masa lalunya, atau telah terjadi perubahan yang mendasar sehingga tidak relevan mencari akar permasalahan perkebunan di Indonesia pada masa kini pada realitas historis perkebunan di masa kolonial.

Awal Perkembangan

Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di abad ke-19, usaha perkebunan untuk ekspor sebenarnya telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Perubahan pola perdagangan pasar dunia pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 yang disertai dengan pelayaran orang Barat langsung ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara menimbulkan peningkatan permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Para penguasa di kerajaan Aceh dan Banten misalnya, telah melakukan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya dalam mengusahakan perkebunan lada pada akhir abad ke-16. Di Banten, pembukaan perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung barat pulau Jawa melainkan juga merambat ke daerah kekuasaannya di Lampung, sehingga terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat Sunda.

Satu hal yang perlu dicatat dari beberapa studi yang telah dilakukan, negara sejak awal telah menjadi penguasa utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai pedagang hasil perkebunan. Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar kecilnya nilai dan hasil produksi. Penguasa dan birokrasinya bahkan menentukan distribusi kebutuhan sehari-hari produsen, yang merupakan kompensasi atas keterlibatan mereka dalam proses produksi. Hal itu menunjukkan bahwa pasar bukan merupakan komponen ekonomi yang penting, baik untuk memasarkan produksi maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena birokrasi menentukan segala hal.

Di dalam usaha itu, para penguasa cenderung bekerja sama dengan orang asing daripada dengan interprenur lokal. Hal itu dilakukan untuk menangkal munculnya kelompok lokal yang mampu menyaingi kekuasaan raja karena keberhasilannya dalam bidang ekonomi. Salah satu contoh adalah kasus yang terjadi di Aceh pada akhir abad ke-16, ketika Sultan Ala’ad-din Ri’ayat Syah al-Mukammil memerintahkan pembunuhan dan perampasan harta benda para orang kaya, karena kelompok itu sangat berpengaruh dalam silih bergantinya lima orang sultan di kerajaan Aceh antara tahun 1571 dan 1589. Sejak saat itu produksi dan perdagangan lada secara eksklusif semakin didominasi oleh penguasa politik, terutama para uleebalang yang merupakan penguasa otonom atas wilayah tertentu. Sejak awal abad ke-16, perkebunan lada yang dikuasai kerajaan Aceh telah mencakup wilayah yang sekarang berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu.

Kehadiran perusahaan dagang Barat, terutama Inggris dan Belanda pada abad XVII memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat, seperti yang terjadi di Ternate, Tidore, dan Ambon. Segera setelah Inggris menguasai Bengkulu, pesaing utama Belanda itu memulai usaha perkebunan, terutama lada di wilayah pantai Barat Sumatera. Sementara itu di Palembang, Jambi, dan Siak yang tidak berada di bawah kekuasaan baik Aceh, Banten maupun perusahaan dagang Barat juga berhasil mengembangkan perkebunan lada pada saat yang bersamaan.

Di Jawa, orang-orang Cina menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan, terutama perkebunan tebu. Pada abad ke-17 perkebunan dan pabrik gula sederhana milik orang Cina sudah ditemukan di sekitar Batavia. Usaha perkebunan milik orang Cina ini juga dapat ditemukan di wilayah yang masih dikuasai oleh Mataram. Usaha perkebunan, terutama milik orang asing ini semakin berkembang ketika kekuasaan Barat atas kerajaan-kerajaan lokal semakin luas dan dalam. Di tanah-tanah partikelir, tanah yang dikuasai VOC yang dijual kepada pribadi-pribadi kaya di Jawa terutama sejak tahun 1778, perbukaan perkebunan-perkebunan baru yang ditanami berbagai jenis tanaman ekspor memperluas aktivitas usaha perkebunan di Jawa. Perkembangan usaha perkebunan mencapai salah satu puncaknya ketika VOC yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi di Priangan, yang dikenal sebagai Preanger Stelsel menjelang berakhirnya abad ke-18. Penanaman kopi di Priangan ini kemudian menjadi model dari tumbuhnya usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang dikenal sebagai Kultuurstelsel atau biasa diterjemahkan sebagai Sistem Tanam Paksa dalam historiografi Indonesia.

Modal Swasta dan Berkembangnya Perkebunan Besar

Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula. Di Jawa, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Kultuurstelsel dalam rangka memanfaatkan secara paksa tanah-tanah desa baik yang belum maupun yang telah diolah oleh masyarakat di daerah Gubernemen sejak tahun 1830. Penduduk diharuskan menyerahkan tanah dan tenaga kerja mereka dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan berbagai komoditi ekspor seperti yang telah disebutkan di atas untuk kepentingan negara kolonial.

Kebijakan yang sama tidak hanya terbatas dilakukan di Jawa. Seiring dengan ekspansi militer dan perluasan kekuasaan politik kolonial, kebijakan pembukaan perkebunan baru secara paksa ini juga dilakukan di pulau-pulau lainnya, seperti tanam paksa kopi yang dilakukan di Sumatera Barat setelah berakhirnya Perang Paderi. Penduduk Sumatera Barat yang telah mengembangkan perkebunan kopi bebas sejak abad ke-18 dipaksa harus menyesuaikan proses produksinya dengan kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840-an. Sebelum itu usaha pembukaan perkebunan besar dengan tenaga kerja paksa telah gagal, sehingga pemerintah menyerahkan kembali proses produksi dalam bentuk perkebunan-perkebunan kopi yang dikelola oleh keluarga namun nilai produksi ditentukan oleh pemerintah. Pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, lada, cengkeh, dan kelapa dengan cara yang hampir sama juga dilakukan di Palembang, Lampung, Bengkulu, dan Minahasa pada waktu yang hampir bersamaan.

Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi colonial, pemerintah colonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controleur sampai residen untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung. Di Sumatera Barat para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala menjadi bagian penting dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan imbalan yang diterima dari penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para elite lokal ini berhasil membangun relasi politis dan ekonomi yang erat dengan kekuasaan kolonial, yang pada titik tertentu menimbulkan konflik dalam hubungan mereka dengan rakyatnya sendiri. Sementara itu bagi para elite yang berusaha bersikap netral seperti yang ditunjukkan oleh banyak penghulu di Sumatera Barat, kondisi ini telah menimbulkan kesulitan bagi para penghulu yang berusaha melindungi rakyatnya dengan kuatnya tekanan kolonial serta adanya kenyataan bahwa para penghulu ini juga menikmati keuntungan ekonomis dari pelaksanaan sistem tanam paksa kopi itu. Pada saat bersamaan ketika berlaku Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah Gubernemen Jawa, sebuah perkembangan perkebunan baru yang melibatkan para pemodal swasta Barat mulai terjadi di Vorstenlanden atau Tanah Kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Berbeda dengan pemahaman selama ini bahwa perkembangan perkebunan besar milik pemodal swasta Barat baru berlangsung setelah berlakunya Undang Undang Agraria 1870, penelitian yang dilakukan Vincent Houben menunjukkan bahwa para pemodal swasta Barat telah menyewa tanah-tanah lungguh milik raja dan para pangeran untuk membuka perkebunan nila, tembakau, kopi, dan tebu. Sebagai contoh, dari 51.000 ton kopi yang dihasilkan Jawa pada tahun 1845, 4.413 atau 8,6% berasal dari Vorstenlanden, yang semuanya dihasilkan oleh kebun-kebun milik pemodal swasta Barat. Bahkan ada bukti yang menyebutkan bahwa perkembangan perkebunan besar milik pengusaha swasta di Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1816, jauh sebelum diberlakukannya undang-undang agraria. Biarpun ada larangan terhadap penyewaan tanah lungguh oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1823, sejak tahun 1827 penyewaan itu berlangsung kembali.

Bukti-bukti lain menunjukkan bahwa perkebunan-perkebunan besar milik swasta juga telah berkembang sejak Daendels dan Raffles menjual tanah-tanah di Bogor, Kerawang, dan Priangan, terutama kepada pengusah-pengusaha swasta Barat dan Cina. Penjualan perkebunan Cikandi Ilir dan Cikandi Udik antara tahun 1823 dan 1833 menjadi contoh lain dari keterlibatan pengusaha swasta asing dalam perkembangan perkebunan besar di Jawa sebelum tahun 1870. Bahkan pada saat Sistem Tanam Paksa berlangsung, paling tidak 36.398 bau tanah Gubernemen di Pekalongan, Surabaya, Pasuruan, dan Banyumas telah berubah menjadi perkebunan besar, masing-masing mengusahakan lebih dari 1.000 bau milik pengusaha swasta. Pada tahun 1826, NHM yang sangat berperan dalam penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa telah mendorong berkembangnya perkebunan besar milik swasta melalui sistem kontrak konsinyasi dengan pemerintah. Perkembangan perkebunan milik pengusaha swasta di Jawa semakin berkembang ketika pemerintah mengizinkan pembangunan pabrik gula milik swasta di samping pabrik gula yang diusahakan oleh negara setelah tahun 1850. Namun satu hal yang perlu dicatat berkaitan dengan perkembangan perkebunan swasta itu, banyak dari perusahaan perkebunan itu dimiliki oleh keluarga para pejabat pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Hal itu dapat dilihat pada kasus perkebunan dan Pabrik Gula Purwodadi di Madiun yang dimiliki oleh Baron A. Sloet van Oldruitenborgh yang merupakan menantu dari P.J.B. Perez seorang anggota Konsil Hindia Belanda. Kepentingan keluarga dan pribadi ini sering menimbulkan konflik dengan para birokrat lokal yang berusaha membela kepentingan pemerintah. Para pengelola perkebunan di Tegal misalnya mengeluh karena para pejabat lokal telah menghalangi perkebunan dalam pengadaan tenaga kerja, sehingga ia dipindahkan ke tempat yang lain. Di Rembang seorang residen berani mencabut izin usaha beberapa perkebunan tembakau swasta yang dianggapnya telah melanggar tanpa akibat apapun, namun penggantinya melakukan hal yang sama terpaksa harus menghadapi pemecatan yang telah direkayasa dari atas. Perubahan kebijakan ekonomi pemerintah seiring dengan semakin kuatnya kepentingan ekonomi para pemilik modal Barat dan adanya perhatian yang lebih besar terhadap pulau-pulau lain setelah tahun 1870 merupakan salah satu tonggak penting dalam pertumbuhan yang semakin cepat usaha perkebunan di Indonesia. Perkebunan gula dan tembakau, terutama milik swasta berkembang sangat luar biasa di Pulau Jawa sampai tahun 1930-an. Menurut data yang dipublikasi dalam Kolonial Verslag, luas areal perkebunan gula yang diusahakan pemerintah menurun dari 28.167 hektar pada tahun 1870 menjadi 3.875 hektar pada tahun 1890.

Sementara itu lahan yang dikelola perkebunan gula swasta meningkat dari 332 hektar pada tahun 1875 menjadi 25.075 hektar pada tahun 1890. Jumlah perkebunan gula swasta juga meningkat dari 46 pada tahun 1875 menjadi 158, yang 24 diantaranya dimiliki oleh orang Cina pada tahun 1895. Kedudukan pemodal swasta dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan dan pembukaan perkebunan besar di Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan perkebunan tembakau milik swasta di Jawa Timur dan Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru dalam usaha perkebunan, tidak hanya bagi daerah sekitarnya melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda selanjutnya. Pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya tenaga kerja kontrak bagi orang Madura di Jawa Timur dan orang Jawa, Cina, dan India di Sumatera Timur pada satu sisi masih meneruskan beberapa ciri tradisi perkebunan yang lama, namun pada sisi yang lain telah menciptakan komunitas perkebunan baru yang unik dan berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya.

Dua Lingkungan Perkebunan

Diilhami oleh tipologi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang membedakan ekologi “sawah-tegalan” dan “dalam Jawa-luar Jawa”, lingkungan sosial-ekonomis dari perkebunan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan proses perkembangan historisnya. Pembedaan ini tentu saja tidak terlalu kaku, karena beberapa ciri yang sama juga terdapat pada tempat yang berbeda. Lingkungan pertama sebagian besar terdapat di Jawa, wilayah yang penduduknya mengalami proses marginalisasi akibat sistem produksinya mengambil alih secara langsung modal produksi yaitu tanah milik desa atau pribadi dan tenaga kerja yang seharusnya digunakan oleh produsen untuk berproduksi bagi kepentingan ekonomi rumah tangga sehari-hari. Proses produksi nila, tembakau, dan tebu menggunakan tanah yang sama digunakan penduduk untuk menanam bahan makanan, khususnya padi. Sementara itu, biarpun sebagian lahan perkebunan kopi dan teh menggunakan lahan di dataran tinggi yang belum diolah, namun di banyak tempat kebun-kebun kopi dan teh milik perusahan besar swasta menggunakan tegalan penduduk dan membatasi upaya penduduk untuk membuka tegalan baru seiring dengan pertambahan penduduk dari waktu ke waktu.

Di dalam lingkungan yang pertama ini, keterlibatan langsung masyarakat lokal di dalam usaha perkebunan menjadi sangat intensif. Hampir sebagian besar tenaga kerja dipenuhi oleh penduduk setempat, kecuali di daerah tertentu yang jarang penduduknya atau dalam musim tertentu ketika tenaga kerja bebas dari luar juga banyak digunakan. Tenaga kerja tidak hanya terbatas pada laki-laki dan orang dewasa, dalam kenyataannya proses produksi juga melibatkan banyak tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Tekanan terhadap ekonomi desa menjadi sangat besar, sehingga proses involusi seperti yang digambarkan Clifford Geertz terjadi di beberapa tempat. Bahkan kajian yang dilakukan oleh Peter Boomgard menyatrakan bahwa keterlibatan perempuan di luar sektor domestik terus meningkat seiring dengan perkembangan perkebunan.

Pada saat yang sama, penduduk juga mampu memanfaatkan keberadaan teknologi baru dan kesempatan ekonomi yang dimunculkan oleh perkembangan perkebunan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robert Elson di Pasuruan menunjukkan bahwa disamping adanya proses involusi dan pemerataan kemiskinan pada komunitas tertentu, penduduk di beberapa wilayah bahkan mampu memanfaatkan secara maksimal irigasi yang dibangun bagi perkebunan tebu untuk meningkatkan produksi padi mereka, sehingga daerah seperti Lumajang menjadi salah satu penghasil padi utama di Jawa Timur. Di tempat lain, penduduk merespon secara positif kesempatan ekonomi baru yang berkaitan dengan perkembangan perkebunan, seperti membuka pasar dan membuat berbagai barang sebagai industri rumah tangga, baik barang yang dibutuhkan oleh perkebunan maupun oleh para pekerjanya. Sebelum lori dan kereta api menjadi alat transportasi utama, penduduk di sekitar perkebunan juga memanfaatkan ternak mereka untuk memenuhi jasa angkutan yang diperlukan oleh perkebunan.

Lingkungan kedua lebih banyak terdapat di perkebunan-perkebunan di Sumatera dan Kalimantan. Di tempat ini terdapat pemisahan yang tegas antara perkebunan sebagai pusat produksi komoditi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia dengan lahan penduduk untuk menanam kebutuhan pangannya. Biarpun secara agronomis lahan yang digunakan untuk membuka ladang atau huma penduduk sama dengan lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan, sampai beberapa dekade awal abad ke-20 belum terjadi persaingan antara kebutuhan lahan perkebunan dengan kebutuhan penduduk menanam padi. Berbeda dengan lingkungan yang pertama, sebagian besar perkebunan di lingkungan kedua dikembangkan di daerah baru yang belum menjadi bagian dari sistem produksi masyarakat. Baru pada masa kemudian ketika terjadi pertumbuhan penduduk yang sangat besar, persoalan lahan ini muncul. Kebun-kebun tembakau, kopi, dan kemudian karet serta kelapa sawit sebagian besar dibuka pada hutan-hutan tropis yang belum dihuni oleh penduduk. Sebagian besar tanah itu merupakan tanah adat, yang diubah statusnya oleh pemerintah kolonial melalui berbagai peraturan menjadi tanah milik penguasa lokal atau tanah tidak terpakai sebelum dilimpahkan kepada perusahaan perkebunan yang mendapat hak konsesi.

Kondisi ini menempatkan posisi politis para elite lokal menjadi seolah-olah lebih penting, dan di beberapa daerah para elite itu bahkan mengalami peningkatan status dari sekedar “kepala mukim”, “kepala kampung”, atau kepala wilayah menjadi raja atau sultan, yang menurut konsep state domain berkuasa atas tanah yang ada. Keadaan itu juga menimbulkan distorsi dalam konteks politik, ketika satuan unit kekuasaan dari para kepala mukim, kepala kampung, atau kepada wilayah yang mengalami mobilitas sosial semu itu tiba-tiba dipahami sebagai kerajaan dalam pengertian negara. Padahal secara teoretik konseptual, kedudukan para elite itu paling tinggi hanya dapat disetarakan dengan bupati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi historiografi Indonesia sampai saat ini tidak bisa membedakan dengan jelas antara konsep chiefdom dengan kingdom dalam membahas para elite itu.

Berbeda dengan kenyataan para elite di Jawa yang memiliki kemampuan mengerahkan tenaga kerja melalui jaringan tradisionalnya untuk memenuhi kepentingan perkebunan, para elite di lingkungan kedua itu ternyata tidak memiliki kekuasaan untuk mengerahkan tenaga kerja penduduk yang ada di bawah kekuasaannya. Hal itu tentu saja memperkuat pendapat bahwa sesungguhnya para elite itu tidak lebih dari elite semu, yang menempati posisi tersebut karena kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang ingin melegalisir pemindahan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan melalui prinsip state domain. Kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja dari luar, sementara jarang sekali penduduk penduduk di sekitarnya yang bekerja sebagai buruh. Pengerahan tenaga kerja luar ini dapat dijelaskan karena rendahnya tingkat populasi di sekitar lokasi perkebunan baru itu dan penduduk setempat sudah memiliki kesempatan ekonomi alternatif.

Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung dipenuhi melalui program kolonisasi. Berbeda dengan prinsip dasarnya yang direncanakan untuk pengembangan pertanian pangan, sebagian besar dari orang yang dipindahkan dari daerah miskin dan bencana di Jawa itu ternyata lebih banyak yang dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan, di samping untuk proyek-proyek pembangunan lainnya yang dilakukan pemerintah.

Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan. Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas. Jika pun ada, kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk pemukiman maupun lahan produksi. Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat.

Di dalam konteks yang lain, dua lingkungan perkebunan ini dapat dilihat dari kualitas ekonomi komunitas perkebunan. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan, dan penderitaan merupakan cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat perkebunan di Indonesia pada masa kolonial sampai saat ini. M. Said, Jan Breman, dan A.L. Stoler misalnya menggambarkan begitu rupa tentang kehidupan masyarakat perkebunan, khususnya di Sumatera Timur yang harus menanggung beban yang sangat luar biasa. Kondisi yang sama juga masih dihadapi oleh para buruh di perkebunan-perkebunan tembakau di Besuki sampai saat ini. Para pekerja perempuan dan anak-anak khususnya harus menghadapi diskriminasi sosial, ekonomi dan bahkan kekerasan seksual secara terus menerus diwarisi dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya.

Sebuah kajian yang paling akhir tentang perkebunan pada masa kolonial menunjukkan telah terjadi peningkatan kualitas non fisik seperti kesehatan dan perlakukan kasar para mandor dan tuan kebun yang semakin berkurang, namun pendapatan riil para pekerja di Sumatera Timur tidak mengalami perubahan yang berarti sejak awal pembukaan perkebunan sampai tahun 1920. Sampai tahun 1910 sebagai contoh, setiap pekerja laki-laki Jawa menerima 30 sen per hari, dan jumlah ini meningkat 60% pada tahun 1920. Kenaikan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup, khususnya kenaikan harga beras yang juga mencapai 60%. Selain itu biarpun angka kematian pekerja turun pada tahun 1910-an dibandingkan dengan kondisi di tahun-tahun awal pembukaan, dalam kenyataannya fluktuasi angka kematian ini tetap menunjukkan kecenderungan yang tinggi mencapai 20 per 2.000 orang, seperti yang terjadi sepanjang dekade kedua abad ke-20. Gambaran yang serupa juga terdapat di berbagai perkebunan besar lain milik pemodal swasta di Palembang, Kalimantan Selatan, Jambi, Lampung, dan Bengkulu.

Gambaran yang agak berbeda tentang perkebunan akan didapat jika komunitas perkebunan dilihat sebagai sebuah totalitas. Perkebunan tidak hanya berisi para pekerja yang menderita melainkan juga pekerja yang menikmati keuntungan finansial yang sangat besar dari hasil perkebunan itu. Ketika banyak pekerja yang diberhentikan, perusahaan merugi, dan para pemegang saham tidak menerima deviden pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an, sebagian pekerja perkebunan yang berada pada tingkat tertentu masih menikmati tantiem dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata penghasilan penduduk dan pegawai pemerintah atau swasta umumnya. Ironisnya, warisan kolonial ini ternyata tidak hilang ketika Indonesia mencapai kemerdekaan, dan perkebunan tidak lagi dikelola oleh orang asing.

Pada masa pascasaproklamasi kemerdekaan, berbagai fasilitas dan sistem yang menguntungkan para elite perkebunan terus dipertahankan. Dalam konteks ini, kemerdekaan dan berakhirnya kolonialisme dapat dikatakan tidak mempengaruhi keberlanjutan eksploitasi dan ketimpangan yang telah menjadi ciri komunitas perkebunan pada masa-masa sebelumnya. Bagi sebagian besar komunitas perkebunan, kemerdekaan hanya sebuah jargon politik yang tidak pernah menjadi bagian dari realitas kehidupan mereka sehari-hari. Seperti pada masa-masa sebelumnya, akses mereka terhadap tanah juga terbatas, kalau tidak mau disebut tertutup. Oleh karena itu tidak mengherankan jika konflik pertanahan tetap merupakan sesuatu yang laten dalam komunitas perkebunan pascaproklamasi kemerdekaan, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi lebih buruk. Sistem jaluran yang dipraktekkan di perkebunan Sumatera Timur pada masa kolonial yang memungkinkan adanya akses terbatas terhadap tanah bagi para buruh sebagai contoh, ternyata tidak berlanjut dengan reformasi agraria yang memberi pengakuan hak atas tanah kepada para penggarapnya ketika Indonesia menjadi sebuah negara merdeka. Bahkan beberapa bukti menunjukkan akses para buruh terhadap tanah menjadi semakin terbatas, dan bahkan hilang sama sekali ketika terjadi Indonesianisasi terhadap perkebunan. Di tempat lain, lahan masyarakat yang telah mengambil alih pengelolaan lahan perkebunan pada masa Jepang dan awal kemerdekaan, terpaksa harus kecewa atau berada pada ketidakpastian secara terus menerus ketika harus berhadapan dengan pengelola baru yang dianggap resmi oleh pemerintah setelah kebijakan nasionalisasi atau Indonesianisasi tahun 1950-an.

Hal itu menunjukkan dua lingkungan di atas tidak hanya telah membentuk sebuah struktur melainkan juga sebuah kultur komunitas perkebunan pada masa yang secara politik berbeda itu. Hampir sama dengan cerita tentang masyarakat miskin perkotaan di Amerika Latin yang telah terjerat oleh culture of poverty seperti yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, secara historis komunitas perkebunan di Indonesia juga telah menciptakan struktur sekaligus kultur perkebunan yang sangat sulit untuk diubah. Baik para pekerja kuli maupun pekerja mandor dan pekerja menejer telah terjerat dalam sebuah lingkaran setan atau tejebak di dalam kotak Pandora, yang mereka sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu pangkal dan ujung serta cara mencari jalan keluarnya. Jikalau terjadi perubahan, maka perubahan itu tidak terjadi secara struktural melainkan hanya parsial dan tidak berkelanjutan. Mereka yang tertindas saat ini harus menghadapi kenyataan historis bahwa nenek buyut mereka dulu juga tertindas biarpun para penindas saat kemudian ternyata bukan keturunan para penindas dahulu.

Perkebunan sebagai sebuah komunitas tetap hidup dalam realitas yang sama ketika komunitas lain telah berhasil memutuskan identitas mereka dari masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Persoalannya tidak lagi dapat dijelaskan dalam konteks ekploitasi kapitalis terhadap proletar melainkan produk dari upaya untuk membangun hegemoni kultural dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomis yang tidak mengenal batas kelas, aliran atau konsep-konsep lain yang setara. Interelasi yang melibatkan banyak variabel telah menghasilkan orang tertindas dan penindas yang hampir-hampir permanen tanpa memerlukan terus hadirnya colonized dan colonizer.

Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana cara memutuskan diri dari belenggu masa lalu itu? Tentu saja tidak ada resep instan yang dapat digunakan. Salah satu cara adalah memahami secara benar perkembangan historis masyarakat perkebunan dari masa lalu hingga saat ini sebagai sebuah keberlanjutan struktural maupun kultural. Jika pemahaman itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi komunitas perkebunan untuk keluar dari warisan sejarah yang hanya menyenangkan segelintir anggotanya saja dan menyengsarakan sebagian besar yang lain.

Penutup

Sebelum tulisan ini diakhiri, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa pembicaraan tentang perkebunan jarang sekali memperhatikan masalah perkebunan atau lebih tepat kebun rakyat. Berdasarkan penelitian terhadap sejarah ekonomi perkebunan rakyat di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya pada masa kolonial, terdapat sebuah alur perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan sejarah perkebunan besar. Jika selama ini dikatakan bahwa para pekebun kecil itu tidak rasional dalam mengusahakan perkebunannya dan perkebunan kecil juga tidak mampu bersaing dengan perkebunan besar, sejarah perkebunan karet rakyat di Kalimantan, Palembang, Jambi, Sumatera Timur, dan Kalimantan Selatan misalnya memberi gambaran yang bertolak belakang. Para pekebun kecil itu ternyata mampu menimbulkan frustrasi berkepanjangan pada para pemilik perkebunan besar.

Dalam banyak kenyataan memang kebun yang memiliki struktur dan sistem yang berbeda itu tidak mampu mendukung perubahan ekonomi secara structural. Namun satu hal yang sering dilupakan bahwa hal itu bukan karena kebun tidak kompetitif secara ekonomis, dan komunitas kebun tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan ekonomi yang rasional. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan terbukti bahwa kebun merupakan korban dari perkebunan ketika para pemilik modal, penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan luar lainnya ikut campur dalam proses produksi dan pasar. Kebun secara sistematis mengalami marginalisasi untuk membuka kesempatan kepada para pemilik modal besar atau untuk membangun citra politik penguasa. Padahal seperti juga pekarangan, kebun memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Sayangnya, historiografi Indonesia tidak memberi tempat yang layak kepada historisitas kebun dan pekarangan berserta komunitasnya yang sebenarnya mampu menghadirkan rakyat sebagai “pahlawan”, namun sebaliknya memberikan ruang yang sangat besar kepada perkebunan yang hanya menggambarkan rakyat sebagai korban dan “pecundang” dan secara langsung sekali lagi melegitimasi peran penting orang asing dalam sejarah Indonesia di masa kolonial seperti yang menjadi ciri utama kolonialsentrisme. [db]

Dafar Pustaka

Bambang Purwanto, “The Economy of Indonesian Smallholder Rubber, 1890s-1940”, J.Th. Lindblad, ed., Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890s-1990. (Amsterdam: KNAW, 1996).

Booth, Anne, Agricultural Development in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin, 1988.

Booth, Anne et al., ed., Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.

Breman, Jan, Taming the Coolie Beast. New Delhi: Oxford University Press, 1989.

Elson, R.E., Javanese Peasant and the Colonial Sugar Industry. Impact and Change in an Easr Java Residency, 1830-1940. Singapore: Oxford University Press, 1984.

Houben, Vincent J.H., “Private Estates in Java in the Nineteenth Century. A Reaprisal”, J.Th. Lindblad, ed., New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia. Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993.

Houben, V.J.H., Thomas Lindblad, et al., Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Study of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag, 1999.

Mubyarto et al., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media, 1992.

Pelzer, Karl J., Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

---, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Sinar Harapan, 1991.

Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.

Soegijanto Padmo, Tobacco Plantations and Their Impact on Peasant Society and Economy in Surakarta Residency:1860-1980s. Yogyakarta: Aditya Media, 1999.

Van der Eng, Pierre, Agricultural Growth in Indonesia Since 1880. Groningen: Universiteitsdrukkerij Rijkuniversitiet Groningen, 1993.

Rabu, 28 Oktober 2009

TANGGAL 27 NOVEMBER 2009 (Iedul Adha 1430 H)

Setiap 10 Dzulhijah kita melaksanakan shalat Idu Adha atas perintah Rasulullah SAW yg mengikuti jejak nabi Ibrahim AS Allah berfirman “Kemudian Kami mewahyukan kepadamu ‘Ikutilah ajaran Ibrahim yg hanif ‘“. Dan Nabi Muhammad SAW bersabda “Aku adl hasil doa ayahku Ibrahim dan berita gembira yg dibawa oleh Isa dan mimpi yg pernah dilihat oleh ibuku. ” .

Isyarat Nabi bahwa beliau merupakan hasil dari doa Ibrahim yg dikabulkan oleh Allah yaitu menunjuk kepada surat Al-Baqarah ayat 127-129 ” Dan ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail ‘Ya Rabb kami terimalah dari pada kami sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’ ‘ Ya Rabb kami jadikanlah kami berdua orang yg tunduk patuh kepada Engkau dan diantara anak cucu kami umat yg tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami dan terimalah taubat kami sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’ ‘Ya Rabb kami utuslah utk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka yg akan membacakan kepada mereka ayatMu dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah serta mensucikan mereka.’ Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “

Sesudah nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah ia diperintahkan oleh Allah utk menyeru kepada ummat manusia agar mereka menjalankan ibadah haji dimana perintah ini diabadikan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 27 “Dan berserulah kepada manusia utk mengerjakan haji niscaya mereka akan datang kepadamu dgn berjalan kaki dan mengendarai unta yg datang dari segenap penjuru yg jauh “.

Pada lebaran qurban atau lebaran haji ini kita dapat mengambil pelajaran dari kegigihan nabi Ibrahim dan pengorbanan nabi Ismail utk kita jadikan pedoman dalam hidup kita yg penuh dgn tantangan dimana umat islam dikerumuni oleh musuh-musuhnya persis yg digambarkan oleh Rasulullah SAW “Hampir-hampir bangsa-bangsa lain mengerumuni kalian sebagaimana halnya para undangan mengerumuni jamuan makan.” Para sahabat bertanya “Apakah kita sedikit saat itu wahai Rasulullah ?” Rasulullah menjawab “Tidak bahkan jumlah kalian banyak pada saat itu tetapi kalian seperti buih laut pada saat itu Allah mencabut perasaan takut dari hati musuh-musuh kalian dan Allah mencampakkan perasaan wahan ke dalam hati kalian“. Para sahabat bertanya “Apakah wahan itu wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab “Cinta dunia dan takut mati“. .

Perhatikan perjuangan nabi Ibrahim yg patut kita teladani seperti perintah Al-Qur’an didalam surat Al-Mumtahanah ayat 4 Sesungguhnya telah ada suri tauladan yg baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yg bersama dgn dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yg kamu sembah selain Allah kami ingkari mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. ” Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tak dapat memberikan pembelaan untukmu sedikitpun dari siksaan Allah.” “Ya Rabb kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.”

Nabi Ibrahim sebagai bapak para nabi dikenal gigih menentang kemusyrikan dan mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah. Seruan pertama ditujukan kepada bapaknya dan kaumnya “Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai sembahan-sembahan?’ Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yg nyata.” .

Meskipun semua itu dijawab oleh bapaknya dgn pengusiran tapi itu justru memperkuat keyakinan Ibrahim bahwa tiap orang yg menyeru kepada kebenaran pasti mendapat cobaan dan ujian justru hal itu lbh meningkatkan derajatnya di sisi Allah. Ibrahim tidak rela kalau kaumnya menyembah selain Allah apakah itu berhala kuburan dukun atau bentuk-bentuk ketaatan yg tidak ditujukan kepada Allah. Karena selain Allah tak ada seorangpun yg dapat memberikan manfaat dan mudlarat.

Kali ini Ibrahim menghadapi penguasa yg Zhalim yg memaksakan kehendaknya kepada rakyat tanpa menghiraukan hak asasi mereka bahkan lbh dari itu menjadikan dirinya sebagi tuhan yg mengaku bisa mematikan dan menghidupkan

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yg mendebat Ibrahim tentang Rabbnya krn Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan . Ketika Ibrahim mengatakan “Saya dapat menghidupka dan mematikan“. Ibrahim berkata “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur maka terbitkanlah matahari dari barat !” Lalu heran terdiamlah orang kafir itu dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yg zalim.

Penguasa zalim yg bernama Namrudz itu tak berkutik menghadapi hujjah-hujjah Ibrahim krn dgn kecongkakanya dia menggunakan kekerasan setelah tak mampu membendung kegigihan Ibrahim yg tidak rela manusia menyembah berhala. Akibatnya Ibrahim dibakar diapun tetap tabah dan mengucapkan “Cukuplah Allah bagi kami dan Allahlah sebaik-baik pelindung“. Allah pun membela hamba-Nya dan memerintahkan kepada api Kami berfirman “Hai api! menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” .

Keadaan umaat Islam sekarang ini cukup menyedihkan dimana banyak di antara mereka yg tidak mengerti ajaran Islam akibatnya mereka tenggelam dgn kesibukan dan dunianya utk memenuhi kebutuhan fisik mereka sementara jiwa mereka meronta-ronta krn tidak mendapatkan santapan rohani yg cukup. Sehingga banyak diantara mereka terkena stress akibat tidak seimbangnya antara otak hati dan badan. Mereka pun banyak datang kepengajian atau mendengarkan ceramah namun itu hanya sebatas hiburan rohani sesaat krn agama hanya dipahami atau didengar saja tetapi tidak diamalkan dan itu akan berakibat fatal bagi mereka dan terjadi split personaliti dimana mereka dimasjid baik tetapi di rumah di kantor di jalanan mereka terlepas dari norma-norma Islam. Apabila mereka terus berjalan di atas garis kehidupan yg salah itu maka akan tumbuh generasi yg tidak peduli terhadap Islam. Para orang tua tak mampu bahkan tak sempat mendidik anak-anaknya di rumah lbh dari itu mereka tak mendapatkan contoh yg baik dari orang tua. Anak-anak sepenuhnya diserahkan kepada sekolah-sekolah yg mereka hanya menerima pelajaran 2 jam dalam seminggu itu pun pengetahuan Islam bukan praktek Islam. Tidak heran jika timbul anak-anak didik yg brutal senang berkelahi bergaul bebas meminum-minuman keras ber-ectacy dan lain-lain kebejatan yg sekarang banyak dialami anak-anak usia sekolah. dgn kata lain banyak yg akhlak mereka yg rusak.

Kita semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas diri kita dan keluarga kita dn apakah jawaban kita?..”Hai orang-orang yg beriman ! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” .

Bagaimana pun kemerosotan ummat Islam adl akibat dari perbuatan kita sendiri krn kita bagian dari mereka. Maka hendaklah kita memperisai diri dan keluarga kita dari segala hal yg dapat menjauhkan kita dari Allah. Peranan suami harus ditingkatkan sesuai ajaran Islam. Ibu harus menjaga benteng rumah tangganya dari rong-rongan film-film TV pergaulan bebas lingkunganya dan terus meningkatkan pemahaman agamanya agar menjadi teladan bagi anak-anaknya. rasulullah SAW bersabda “Orang yg terbaik di antara kalian ialah yg terbaik bagi keluarganya dan akulah yg terbaik terhadap keluargaku” .

Ingatlah bahwa kehidupan kita hanya sebentar saja. Dan sungguh kita akan merugi apabila sisa kehidupan kita tidak kita gunakan utk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka yg beruntung dan bermasa depan adl mereka yg berpegang dgn Al-Qur’an dan As-sunnah. Allah berfirman “Dan barang siapa mentaati Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yg besar.” . Rasulullah SAW bersabda “Semua ummatku akan masuk surga kecuali yg enggang.” Para sahabat bertanya “Siapakah yg enggang wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “Barang siapa mentaati aku maka ia masuk surga dan barang siapa melanggarku maka dialah orang yg enggang.” .

Oleh Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia - Al-Islam

Berhaji di Jalan Allah


penulis Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi.
Syariah Tafsir 19 - Desember - 2006 20:12:50

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجِّ عَمِيْقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ اْلأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ. ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

“Dan berserulah kepada manusia utk mengerjakan haji niscaya mereka akan datang kepadamu dgn berjalan kaki dan mengendarai unta yg kurus yg datang dari segenap penjuru yg jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yg telah ditentukan atas rizki yg Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. mk makanlah sebahagian daripada dan berikanlah utk dimakan orang2 yg sengsara lagi fakir. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yg ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yg tua itu .”

Penjelasan Mufradat Ayat

وَأَذِّنْ

Berasal dari kata Al-Adzan yg berarti mengumumkan. Makna adalah: Umumkan dan sampaikanlah kepada manusia bahwa: “Hendaklah kalian menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram wahai sekalian manusia.” Al-Hasan bin Abil Hasan dan Ibnu Muhaishin membaca dgn lafadz وَآذِنْ .

رِجَالاً

Merupakan bentuk jamak dari raajil رَاجِلٌ yg berarti orang2 yg berjalan dan bukan jamak dari rajul رَجُلٌ . Ibnu Abi Ishaq membacanya: rujaalan رُجَالاً dgn men-dhammah-kan huruf ra’. Sedangkan Mujahid membacanya: rujaalaa رُجَالَى. Didahulukan penyebutan orang berjalan daripada orang yg berkendaraan disebabkan rasa letih yg dirasakan orang yg berjalan lbh besar dibanding yg berkendaraan. Demikian yg disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah dan Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah.

ضَامِرٍ

Makna unta kurus yg letih disebabkan safar.

فَجِّ عَمِيْقٍ

Al-Faj bermakna jalan yg luas jamak fijaaj. ‘Amiq bermakna jauh.

مَنَافِعَ لَهُمْ

“Manfaat bagi mereka.” Ada yg mengatakan bahwa manfaat di sini mencakup manfaat dunia dan akhirat. Ada pula yg mengatakan makna adl manasik. Ada yg mengatakan bahwa makna adl ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ada pula yg mengatakan bahwa makna perdagangan.

بَهِيْمَةِ اْلأَنْعَامِ

Yang dimaksud adl hewan ternak berupa unta sapi dan kambing.

الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ

Yang sangat miskin. Disebutkan kata “faqir” setelah dgn tujuan memperjelas.

تَفَثَهُمْ

Asal makna tafats adl tiap kotoran yg menyertai manusia. Makna adl hendaklah mereka menghilangkan kotoran berupa panjang rambut dan kuku.

نُذُوْرَهُمْ

Yakni mereka menunaikan nadzar mereka yg tdk mengandung unsur kemaksiatan. Ada pula yg mengatakan bahwa yg dimaksud nudzur dlm ayat ini adl amalan-amalan haji.

وَلْيَطَّوَّفُوا

“Hendaklah mereka thawaf.” Yang dimaksud thawaf di sini adl Thawaf Ifadhah. Sebab thawaf dlm amalan haji ada tiga macam: Thawaf Qudum Thawaf Ifadhah dan Thawaf Wada’.

الْعَتِيْقِ

‘Atiq arti tua dikuatkan dgn firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ ..

“Sesungguh rumah yg pertama..”
Adapula yg mengatakan ‘atiq arti yg dibebaskan sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskan rumah ini dari kekuasaan orang2 yg sombong. Adapula yg mengatakan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskan orang2 yg berdosa dari siksaan. Adapula yg mengatakan ‘atiq arti yg mulia.

Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan:
“Sampaikan kepada manusia utk mengerjakan ibadah haji. Umumkanlah ajaklah manusia kepadanya. Sampaikan kepada yg jauh dan yg dekat tentang kewajiban dan keutamaannya. Sebab jika engkau mengajak mereka mk mereka mendatangimu dlm keadaan menunaikan haji dan umrah dgn berjalan di atas kaki mereka krn perasaan rindu dan di atas unta yg melintasi padang pasir dan sahara serta meneruskan perjalanan hingga menuju tempat yg paling mulia dari tiap tempat yg jauh.
Hal ini telah dilakukan oleh Al-Khalil ‘alaihissalam kemudian oleh anak keturunan yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua mengajak manusia utk menunaikan haji di rumah ini. Kedua menampakkan dan mengulanginya. Dan telah tercapai apa yg Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan kepadanya. Manusia mendatangi dgn berjalan kaki dan berkendaraan dari belahan timur dan barat bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu menyebutkan beberapa faedah menziarahi Baitullah Al-Haram dlm rangka mendorong pengamalannya. Yaitu agar mereka menyaksikan berbagai manfaat utk mereka dgn mendapatkan berbagai manfaat dari sisi agama di Baitullah berupa ibadah yg mulia. Ibadah yg tdk didapatkan kecuali di tempat tersebut. Demikian pula berbagai manfaat duniawi berupa mencari penghasilan dan didapat berbagai keuntungan duniawi. Ini semua merupakan perkara yg dapat disaksikan. Semua mengetahui hal ini.
Dan agar mereka menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari-hari yg tertentu atas apa yg telah rizkikan kepada mereka berupa hewan ternak. Ini merupakan manfaat agama dan duniawi. Makna agar mereka menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyembelih sembelihan kurban sebagai tanda syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas rizki yg Dia limpahkan dan mudahkan utk mereka.
Jika kalian telah menyembelih mk makanlah dari dan berilah makan kepada orang yg sangat miskin. Kemudian hendak mereka menyelesaikan manasik haji dan menghilangkan kotoran serta gangguan yg melekat pada diri mereka selama ihram. Hendaklah mereka juga menunaikan nadzar yg mereka wajibkan atas diri mereka berupa haji umrah dan sembelihan.
Hendaklah mereka thawaf di rumah tua masjid yg paling mulia secara mutlak yg diselamatkan dari kekuasaan orang2 yg angkuh. Ini adl perintah utk thawaf secara khusus setelah disebutkan perintah utk bermanasik haji secara umum krn keutamaan tersebut kemuliaan dan krn thawaf adl tujuan. Sedangkan yg sebelum adl sarana menuju tersebut. Mungkin juga –wallahu a’lam– krn faedah lain yaitu bahwa thawaf disyariatkan pada tiap waktu baik mengikuti amalan haji ataupun dilakukan secara tersendiri.”

Hukum Menunaikan Ibadah Haji
Di dlm ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yg mulia ini dijelaskan ada perintah utk mengumumkan kepada seluruh manusia agar mereka menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram sebagai pelanjut dari syariat yg telah diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Ibrahim Khalilullah ‘alaihissalam. Sebagaimana dlm firman-Nya:

قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah: ‘Benarlah Allah.’ mk ikutilah agama Ibrahim yg lurus dan bukanlah dia termasuk orang2 yg musyrik.”
Oleh krn itu para ulama telah bersepakat tentang wajib berhaji sekali dlm seumur hidup berdasarkan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah dinukil ijma’ tersebut oleh para ulama di antara Ibnu Qudamah dlm Al-Mughni dan An-Nawawi dlm kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab .
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami lalu bersabda: “Wahai sekalian manusia sungguh telah diwajibkan atas kalian haji mk berhajilah!”
Maka seseorang berkata: “Apakah tiap tahun wahai Rasulullah?” Beliau terdiam sampai orang tersebut berta sebanyak tiga kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menjawab: “Kalau aku menjawab ya mk akan menjadi wajib dan niscaya kalian tdk mampu.” Lalu beliau bersabda:

ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلىَ أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ

“Biarkanlah apa yg aku tinggalkan utk kalian sesungguh binasa orang2 sebelum kalian adl krn terlalu banyak berta dan menyelisihi para nabi mereka. Jika aku perintahkan kalian terhadap sesuatu mk kerjakanlah semampu kalian dan jika aku melarang kalian dari sesuatu mk tinggalkanlah.”

Manfaat Ibadah Haji
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa di antara hikmah menunaikan ibadah haji adl agar mereka memperoleh manfaat dari ibadah tersebut. Manfaat itu bersifat umum meliputi manfaat agama maupun duniawi. Oleh karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata dlm menafsirkan manfaat dlm ayat ini: “Berbagai manfaat dunia dan akhirat. Adapun manfaat akhirat adl mendapat keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun manfaat dunia adl apa yg mereka dapatkan berupa daging unta sembelihan dan perdagangan.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dlm Sunan- dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Kaum muslimin saat pertama kali berhaji mereka dahulu berjual beli di Mina ‘Arafah di pasar Dzul Majaz dan pada musim haji. mk merekapun takut berjual beli dlm keadaan mereka sedang berihram hingga turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ

“Tidak ada dosa bagimu utk mencari karunia dari Rabbmu.” (HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dlm Shahih Abu Dawud no. 1734)
Ini berkenaan dgn manfaat duniawi.
Adapun manfaat ukhrawi barangsiapa yg menjalankan dgn ikhlas dan mengharapkan ridha serta ampunan-Nya mk ia mendapatkan pahala yg berlipat ganda dan dihapuskan dosa-dosanya.
Dalam riwayat Al-Imam Muslim dari hadits ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu ketika ia baru masuk Islam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Apakah engkau tdk tahu bahwa Islam menghapuskan apa yg telah lalu dan bahwa hijrah menghapuskan apa yg telah lalu dan haji menghapuskan apa yg telah lalu .”
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَجَّ لِلّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barangsiapa yg berhaji krn Allah lalu dia tdk berbuat keji dan tdk berbuat kefasikan mk dia kembali sebagaimana hari dia dilahirkan oleh ibu .”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ

“Antara umrah yg satu menuju umrah yg berikut adl penghapus dosa di antara kedua dan haji yg mabrur tdk ada balasan kecuali syurga.”
Sehingga menunaikan ibadah haji merupakan kesempatan besar utk berbekal dgn bekal akhirat dgn bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kembali kepada-Nya menuju kepada ketaatan-Nya dan bersegera menggapai keridhaan-Nya. Di sela-sela menunaikan amalan haji seseorang hendak bersiap-siap utk mendapatkan kesempatan yg banyak dlm menimba berbagai pelajaran yg bermanfaat dan ibrah yg memberi pengaruh. Juga berbagai faedah yg agung dan hasil yg mulia baik dlm aqidah ibadah dan akhlak. Dimulai dgn amalan haji yg pertama dikerjakan oleh seorang hamba ketika di miqat hingga amalan yg terakhir yaitu Thawaf Wada’ sebanyak tujuh kali sebagai tanda perpisahan dgn Baitullah Al-Haram.
Haji benar-benar berkedudukan sebagai madrasah pendidikan iman yg agung yg meluluskan orang2 mukmin yg bertakwa. Sehingga dlm haji mereka menyaksikan berbagai manfaat yg besar dan berbagai pelajaran yg berbeda-beda serta nasehat yg demikian memberi pengaruh yg menghidupkan hati dan menguatkan iman.

Thawaf di Ka’bah sebagai Ibadah Mulia
Di antara kandungan ayat yg mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada umat Islam agar mereka melaksanakan thawaf di Baitullah Ka’bah sebagai rumah pertama yg diletakkan utk manusia di mana kaum muslimin berkumpul di tempat tersebut sebagai tanda berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian besar peranan thawaf dlm amalan haji tersebut sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan amalan pertama yg dilakukan seorang yg menunaikan ibadah haji ketika memasuki Masjidil Haram adl thawaf. Demikian pula akhir amalan mereka diakhiri dgn Thawaf Wada’. Telah diriwayatkan dlm Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:
“Sesungguh sesuatu yg paling pertama yg Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan ketika datang adl berwudhu kemudian thawaf.”
Ini juga menunjukkan bahwa thawaf di Ka’bah merupakan ibadah yg mulia dan ketaatan yg agung amalan yg sangat dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga seseorang tdk diperbolehkan melakukan thawaf di suatu tempat dgn maksud bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa tdk disyariatkan thawaf kecuali di Al-Baitul Ma’mur . Sehingga tdk boleh thawaf di batu besar Baitul Maqdis tdk di kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk di kubah yg ada di bukit Arafah dan tdk pula di tempat lainnya.”
Beliau rahimahullah juga berkata: “Di bumi ini tdk ada sebuah tempat yg dibolehkan thawaf pada seperti thawaf di Ka’bah. Barangsiapa berkeyakinan bahwa thawaf di tempat lain disyariatkan mk dia lbh jahat dari orang yg meyakini boleh shalat menghadap selain Ka’bah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala berhijrah dari Makkah ke Madinah beliau shalat memimpin kaum muslimin selama 18 bulan menghadap ke Baitul Maqdis yg menjadi kiblat kaum muslimin selama kurun waktu tersebut. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala pindahkan kiblat ke arah Ka’bah dan Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan Al-Qur`an tentang hal tersebut sebagaimana yg disebutkan dlm Surat Al-Baqarah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin shalat menghadap ke Ka’bah yg telah menjadi kiblat dan itu adl kiblat Ibrahim dan para nabi selainnya. mk barangsiapa yg menjadikan shakhrah pada hari ini sebagai kiblat yg dia shalat menghadap ke arah mk dia kafir murtad dan diminta bertaubat. Jika tdk mau mk ia dibunuh. Padahal dahulu batu itu berstatus sebagai kiblat. Lalu bagaimana dgn orang yg menjadikan sebagai tempat thawaf seperti thawaf di Ka’bah? Padahal thawaf selain di Ka’bah tdk pernah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali..”
Oleh krn itu perbuatan sebagian kaum muslimin yg jahil terhadap agama yg menjadikan sebagian tempat dan kuburan sebagai tempat meminta dan thawaf di sekeliling merupakan kemungkaran yg nyata dan orang yg memiliki kemampuan wajib utk menghilangkan kemungkaran tersebut.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidak boleh thawaf di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dibenci pula menempelkan punggung dan perut ke dinding kuburan. Hal ini disebutkan oleh Abu Abdillah Al-Hulaimi dan yg lainnya. Mereka berkata: ‘Bahkan dibenci menyentuh dgn tangan dan menciumnya. Bahkan termasuk adab adl seseorang menjauh dari sebagaimana ia menjauh dari ketika masih hidup. Inilah yg benar yg disebutkan oleh para ulama dan mereka telah bersepakat atasnya. Janganlah tertipu dgn penyimpangan kebanyakan orang awam dan perbuatan mereka. Sebab yg boleh diikuti dan diamalkan hanyalah hadits-hadits yg shahih dan pendapat para ulama. Adapun amalan-amalan baru dari orang awam dan lain serta berbagai kejahilan mereka tidaklah ditoleh. Disebutkan dlm Ash-Shahihain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yg melakukan perkara baru dlm agama kita yg tdk ada asal dari mk ia tertolak.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yg mengamalkan satu amalan yg tdk ada perintah dari kami mk ia tertolak.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا، وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

“Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat ‘Id dan bershalawatlah kepadaku sesungguh shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata yg maknanya: “Ikutilah jalan-jalan hidayah dan tdk membahayakanmu sedikit orang yg menempuhnya. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan jangan tertipu dgn banyak orang yg binasa.”
Barangsiapa muncul dlm benak bahwa menyentuh kuburan tersebut dgn tangan dan selain lbh menghasilkan berkah mk itu termasuk kebodohan dan kelalaiannya. Sebab berkah hanyalah didapatkan dlm perkara yg mencocoki syariat. Bagaimana mungkin dia mendapatkan keutamaan dlm perkara yg menyelisihi syariat?”
Wallahu a’lam.

“Apa yang Dimaksud Suap Menurut Islam?”

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Risywah secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan. .

Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebab sogokan akan membuat hukum menjadi oleng dan tidak adil. Selain itu tata kehidupan yang menjadi tidak jelas.

Keharaman Sogokan

Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khsusus istilah sogokan atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan Al-Quran yaitu `akkaaluna lissuhti` sebagai risywah atau sogokan.

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram
.

Kalimat `akkaaluna lissuhti` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil sogokan atau risywah. Jadi risywah identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT.

Sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui

Selain itu ada banyak sekali dalil dari sunnah yang mengharamkan sogokan dengan ungkapan yang sharih dan zahir. Misalnya hadits berikut ini:

Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum.

Dan hadits berikut ini:

Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap.

Dan hadits berikut ini:

Rasulullah SAW melaknat penyuap, yang menerima suap dan perantaranya

Yang Termasuk Diharamkan Terkait dengan Sogokan

Kalau diperhatikan lebih seksama, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil dari sogokan, tetapi juga diharamkan melakukan hal-hal yang bisa membuat sogokan itu berjalan. Maka yang diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan harta sogokan, melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu
#

Menerima sogokan
#

Memberi sogokan
#

Mediator sogokan

Sebab tidak akan mungkin terjadi seseorang memakan harta hasil dari sogokan, kalau tidak ada yang menyogoknya. Maka orang yang melakukan sogokan pun termasuk mendapat laknat dari Allah juga. sebab karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang yang makan harta sogokan. Dan biasanya dalam kasus sogokan seperti itu, selalu ada pihak yang menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.

Sebab bisa jadi pihak yang menyuap tidak mau menampilkan diri, maka dia akan menggunakan pihak lain sebagai mediator. Atau sebaliknya, pihak yang menerima suap tidak akan mau bertemua langsung dengan si penyogok, maka peran mediator itu penting. Dan sebagai mediator, maka wajarlah bila mendapatkan komisi uang tertentu dari hasil jasanya itu.

Maka ketiga pihak itu oleh Rasulullah SAW dilaknat sebab ketiganya sepakat dalam kemungkaran. Dan tanpa peran aktif dari semua pihak, sogokan itu tidak akan berjalan dengan lancar. Sebab dalam dunia sogok menyogok, biasanya memang sudah ada mafianya tersendiri yang mengatur segala sesuatunya agar lepas dari jaring-jaring hukum serta mengaburkan jejak.

Rupanya sejak awal Islam sudah sangat antisipatif sekali terhadap gejala dan kebiasaan sogok menyogok tak terkecuali yang akan terjadi di masa depan nanti. Sejak 15 Abad yang lalu seolah-olah Islam sudah punya gambaran bahwa di masa sekarang ini yang namanya sogok menyogok itu dilakukan secara berkomplot dengan sebuah mafia persogokan yang canggih.

Karena itu sejak dini Islam tidak hanya melaknat orang yang makan harta sogokan, tetapi juga sudah menyebutkan pihak lain yang ikut mensukseskannya. Yaitu sebuah mafia persogokan yang biasa teramat sulit diberantas, karena semua pihak itu piawai dalam berkelit di balik celah-celah kelemahan hukum buatan manusia.

Sogok untuk Memperoleh Hak

Namun jumhur ulama memberikan pengecualian kepada mereka yang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan disyaratkan harus membayar jumlah uang terentu. Intinya, yang minta berdosa karena menghalangi seseorang mendapatkan haknya, sedangkan yang membayar untuk mendapatkan haknya tidak berdosa, karena dia melakukan untuk mendapatkan apa yang jelas-jelas menjadi haknya secara khusus. Maksudnya hak secara khusus adalah untuk membedakan dengan hak secara umum.

Contohnya adalah bahwa untuk menjadi pegawai negeri merupakan hak warga negara, tapi kalau harus membayar jumlah tertentu, itu namanya risyawah yang diharamkan. Karena menjadi pegawai negeri meskipun hak warga negara, tetapi hak itu sifatnya umum. Siapa saja memang berhak jadi pegawai negeri, tapi mereka yang yang benar-benar lulus saja yang berhak secara khusus. Kalau lewat jalan belakang, maka itu bukan hak.

Sedangkan bila seorang dirampas harta miliknya dan tidak akan diberikan kecuali dengan memberikan sejumlah harta, bukanlah termasuk menyogok yang diharamkan. Karena harta itu memang harta miliknya secara khusus

Maka jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa .

Memberi Bonus Apakah termasuk Suap?

Kalau mengacu kepada pertanyaan dari anda, sebenarnya tidak ada indikasi suap. Sebab bonus yang Anda berikan tidak membuat para pengajar itu melakukan hal-hal yang terlarang, juga tidak ada pihak yang dirugikan. Sebaliknya, dengan adanya bonus itu, Anda menghargai jerih payah mereka dalam upaya bekerja mendapatkan murid sesuai dengan hasilnya.

Prinsipnya, bentuk-bentuk biaya promosi seperti potongan harga, discount besar-besaran, hadiah menarik dan upaya-upaya sejenis dalam rangka meningkatkan profit, tidak termasuk wilayah semesta pembicaraan masalah sogokan. Semua itu hanyalah wilayah proses sebuah pemasaran yang wajar dan sehat, selama tidak melanggar etika dan batas-batas kehalalannya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pelajaran penting dari Sumpah Pemuda


Pada tahun 2009 ini kita memperingati 81 tahun Sumpah Pemuda. Sebuah momentum sejarah yang terus diperingati setiap tahun ini tentu harapannya tak sekadar membangkitkan romantisme belaka. Lebih dari itu, kita dituntut mengambil nilai penting agar peringatan Sumpah Pemuda benar-benar bermakna bagi kebangunan Indonesia Raya.

Sudah jamak dimengerti, Sumpah Pemuda 1928 adalah ikrar bersatunya berbagai komponen bangsa yang diwakili kaum muda untuk merajut cita-cita Indonesia merdeka. Melalui pemikiran yang panjang, kaum muda menyadari pentingnya keterikatan sesama warga bangsa untuk mengenyahkan imperialisme dan kolonialisme dari tanah persada. Kesadaran membangun kekuatan bangsa dengan eratnya persatuan dan kesatuan merupakan tuntutan mutlak agar negeri ini menapak ke arah kemajuan.

Pertama, pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Yang jelas, keragaman sebagai realitas Indonesia bukan alasan untuk terpecah-belah. Keragaman yang positif merupakan potensi untuk menjayakan negeri. Perbedaan yang ada tentu merupakan sebuah keniscayaan dan tak layak dijadikan pemicu perpecahan. Harus disadari jika Indonesia masa depan yang ideal masih membutuhkan proses perjuangan panjang. Untuk itu, segenap komponen bangsa dituntut bersatu padu dan saling berjibaku membangun Indonesia.

Kedua, pentingnya kesadaran pemuda sebagai aset masa depan bangsa. Pemuda saat ini akan menentukan wajah Indonesia di kemudian hari. Siapa pun telah mengerti jika masa depan akan terdiri dari orang-orang yang hari ini menjadi kaum muda.

Pemuda memang dituntut menyadari peran dan tanggung jawabnya memajukan negeri yang telah dibangun dengan pengorbanan para pahlawan tempo dulu. Keprihatinan yang kerap disuarakan selayaknya dijadikan media refleksi.

Senin, 26 Oktober 2009

MUTASI........

Mutasi adalah hal biasa dalam sebuah organisasi.Namun hampir setiap kali usai mutasi,
nada sumbang bahkan riak kekecewaan acap kali muncul ke permukaan. Tidak jarang mutasi yang sejatinya dihajatkan bagi sebuah spirit penyegaran dan penajaman ktifitas roda organisasi, justeru berbalik menjadi “virus” yang melumpuhkan dan mematikan semangat dan kinerja organisasi.Bahkan tidak jarang, mutasi menjadi momok yang sangat menakutkan, bagai hantu gentayangan.Karena seringkali kewenangan mutasi didahului oleh tebaran ancaman serta dijadikan sebagai alat balas dendam kekuasaan.

Saking menonjol dan teramat rutinnya kewenangan yang satu ini dilaksanakan, apalagi disertai headline pemberitaan media yang begitu gencar, hingga terkadang menutupi aktifitas-aktifitas kewenangan bidang lainnya, kalangan awam pun seolah hanya mengetahui satu kewenangan seorang Kepala Daerah, yaitu Mutasi.

Kondisi ini, sepertinya menjadi warisan buruk tradisi kekuasaan yang turun-temurun. Dari rezim yang satu ke rezim penguasa berikutnya. Bahkan seolah-olah menjadi suatu yang lumrah dan biasa. Apalagi usai Pilkada. Bahwa setiap rezim dipandang wajar dan halal melakukan apa saja di era kekuasaannya. Semua pihak serta merta mengamini dan sepertinya sangat memaklumi serta mau tidak mau, suka tidak suka, “harus” menerima perilaku tersebut.

Situasi tak sehat ini, kadang tambah diperparah oleh banyaknya “hantu-hantu pembisik”, yang seringkali banyak bergentanyangan diseputar “lingkaran dalam” seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Mereka, para “hantu pembisik” ini, terkadang bisikannya lebih beracun, ketimbang pertimbangan tekhnis-rasional manajemen penempatan aparatur organisasi perangkat daerah yang disampaikan oleh lembaga Baperjakat. Sementara dilain pihak, kita berharap dan memimpikan sebuah tata krama rezim “pemimpin” kekuasaan yang ideal. Pemimpin yang dapat mengayomi semua pihak tanpa kecuali. Pemimpin yang tidak saja punya talenta politik yang kemudian mendapat gelar “politisi” dengan memegang kendali kebijakan publik dari jabatan politik.
Tetapi lebih dari itu kita membutuhkan pemimpin yang memiliki empati dan sifat-sifat “ke-negarawan-an”. Yang tidak saja berpikir tentang kekuasaan politik hari ini, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan pemimpin yang mampu meletakkan rancangan desain tentang segala potensi yang kita miliki hari ini, bagi kepentingan jangka panjang dan masa depan daerah dan negeri ini.

Salah satu potensi besar yang kita miliki itu, adalah sumberdaya aparatur daerah. Sumberdaya ini harus diselamatkan dengan meletakkan dasar serta merancang pola-pola tradisi yang kuat bagi pengaturan aparatur yang lebih baik. Mulai dari rekruitmen, pembinaan dan kaderisasi, penempatan, mutasi, promosi, reward and punishment, yang disiplin, tegas, terencana, terukur dan profesional serta konsisten berkelanjutan (sustainable).

Kita semua memimpikan sebuah desain mutasi dan promosi yang mampu mengangkat dan memacu kinerja aparatur bagi percepatan pencapaian program dan tujuan yang hendak kita raih. Mutasi mestinya mampu menjadi pendorong percepatan kinerja. Yang lamban menjadi lebih laju, yang lemah menjadi lebih kuat, dan yang loyo menjadi bangkit bersemangat.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan Visi Misi dan Programnya, ibarat seorang Presiden Direktur (Chief Executive Officer-CEO) sebuah Holding Company dengan target-target pencapaian programnya, sebagaimana yang telah dijanjikan kepada para pemegang saham (rakyat) pemilihnya.
Sekretaris Daerah (Baperjakat) ibarat seorang Direktur Personalia (Chief Operating Officer-COO), dan BKPPD (Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah) sebagai perangkat personalia (human resource departement-HRD) yang menyimpan data personalia kepegawaian.

Seorang Presiden Direktur hanya perlu menyampaikan kriteria orang yang dibutuhkan untuk membantu dirinya dalam mengejar dan merealisasikan target program yang hendak dicapai. Direktur Personalia dibantu oleh BKPPD menyiapkan orang/aparatur yang sesuai dengan kriteria yang diperlukan.
Bila terdapat lebih dari satu orang yang memiliki serta memenuhi kriteria dimaksud, maka Presiden Direktur dapat memilih orang yang diinginkan dan dipercaya berdasarkan kemampuan yang dibutuhkan, melalui mekanisme Fit and Propertest dan kontrak pencapaian target kinerja serta realisasi program yang diamanatkan. Itu pun cukup dilakukan seorang Presiden Direktur sebatas sampai pada Jabatan Eselon II, Asisten, Kepala Dinas dan atau Kepala Bagian serta Pimpinan Unit Kerja.

Setelah para Direktur Departemen, Pimpinan Divisi dan Pimpinan Unit Kerja (Division Head) ditetapkan, maka jajaran dibawahnya diserahkan sepenuhnya kepada Pimpinan Unit Kerja yang bersangkutan sesuai kriteria dan SDM aparatur yang diperlukan, dengan pola rekruitmen dan kontrak yang sama tersebut.

Kepala Dinas merekomendasikan Kepala Bidang (Kabid), yang dipandang dapat membantunya untuk merealisasikan program yang diamanatkan kepadanya oleh Kepala Daerah. Demikian pula para Kabid dan Kepala Bagian, diberikan wewenang untuk merekomendasikan Kepala Seksi yang dapat membantunya, demikian seterusnya sampai ke tingkat jajaran aparatur terendah.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanya sebatas memfasilitasi penempatan orang-orang dan aparatur yang telah direkomendasikan dan dipandang mampu bekerjasama dalam sebuah tim kerja yang solid oleh masing-masing pimpinan unit kerjanya secara legal formal, sesuai kewenangan yang dimiliki oleh seorang Kepala Daerah.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak boleh terkuras waktu, tenaga dan pikirannya pada urusan tetek-bengek dan remeh-temeh.
Waktu, tenaga dan pikiran seorang Kepala Daerah harus dicurahkan dan difokuskan sepenuhnya pada upaya, prakarsa dan gagasan-gagasan strategis besar guna mencari terobosan-terobosan kreatif dan spektakuler bagi percepatan pencapaian program peningkatan kesejahteraan rakyat.
Menyediakan dan memperbaiki infrastruktur, meningkatkan investasi, membuka peluang usaha dan kesempatan kerja serta peningkatan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan yang lebih murah dan terjangkau. Atau kebijakan-kebijakan populis lainnya yang berdampak luas bagi kemaslahatan umum. Tidak malah direcoki oleh urusan mutasi penjaga kantor, penunggu sekolah, juru ketik, cleaning service, dan tukang kebun.

Dengan pola ini, maka diharapkan salah penempatan, tidak sesuai dengan bidang keahlian serta hal-hal yang berkaitan dengan ketidak-kompakan, ketidak-harmonisan dan kegagalan sebuah teamwork yang solid dan sinergis, serta aspek benturan dan kendala serta ganjalan-ganjalan lain yang bersifat psikologis dan kultural antar aparatur dalam sebuah unit kerja yang sama, dapat ditekan dan dieliminir serendah mungkin.

Sehingga sistem coba-coba dan bongkar-pasang, serta mutasi setiap hari pada orang yang sama juga dapat dihindari. Hanya dengan pola-pola seperti itu, kita dapat menghargai dan menyelamatkan salah satu potensi besar (SDM Aparatur) yang kita miliki. Manajemen sumberdaya manusia (human resource) aparatur kita, hendaknya dapat kita kembangkan ke arah penajaman fungsi dan peningkatan pelayanan. Hanya dengan manajemen sumberdaya aparatur seperti itulah, kita dapat menjadikan aparatur kita sebagai salah satu modal dasar yang kuat untuk dapat fokus mengangkat potensi-potensi kekayaan lainnya yang kita miliki secara maksimal. Sehingga kita dapat bersaing dengan daerah-daerah lainnya.

Mutasi yang baik, mestinya mampu melahirkan greget semangat baru bagi bangkitnya kinerja aparatur yang lebih baik. Bagi penajaman dan percepatan realisasi pelaksanaan program dan tujuan yang hendak dicapai. Bukan malah sebaliknya. Sudah saatnya, para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertindak sebagai CEO profesional, mampu menangkap perubahan paradigma manajemen sumberdaya aparatur, dengan mengarahkan birokrasi pada aspek fungsi dan pelayanan yang profesional, tanpa disusupi kepentingan politik dan kekuasaan.

Tanpa komitmen seperti itu, maka sama artinya dengan kita mengabaikan potensi dan sumberdaya yang kita miliki serta menelantarkan, menghancurkan dan membunuh masa depan daerah kita sendiri. Oleh karenanya, semestinya mutasi ideal harus bisa steril dari kepentingan lain, di luar kepentingan peningkatan dan penajaman kinerja organisasi itu sendiri. Apalagi kepentingan kroni, kerabat dan keluarga.

Hanya dengan suasana yang tenang, nyaman, harmonis, kondusif dan merasa diperlakukan secara adil, proporsional dan profesionallah, seseorang dapat termotivasi untuk dapat berfikir cemerlang dan lebih produktif serta bekerja dengan kinerja yang lebih baik dan semangat yang maksimal.
Tidak ada prestasi gemilang tanpa motivasi yang kuat dan terarah. Tidak ada motivasi tanpa reward dan punishment yang jelas, tegas, konsisten, terencana, terukur dan profesional.

Sungguh sebuah ironi, bila hajat penyegaran dan penajaman aktifitas sebuah organisasi, berbalik menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan bagi aparatur kita sendiri. Ada yang salah?. Mungkin?. Atau inikah wujud pelaksanaan Visi Misi Pro-Aparatur yang dijanjikan itu? Wallahu’alam.

ROTASI DAN MUTASI PEJABAT SEBAGAI SARANA PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KARIER PEGAWAI


Pendahuluan

Sebagai konsep kebijakan dalam kepegawaian, Rotasi yang menurut akang sih memiliki arti filosofi lebih dalam dari Mutasi (yang lebih bersifat teknis) justru tidak tersurat dalam peraturan kepegawaian di Republik Indonesia. Baik Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, tidak menyebut istilah Rotasi atau Rolling.

Bagi akang rotasi atau rolling memiliki pengertian memutar atau menggilir penempatan pejabat struktural maupun fungsional dari satu jabatan tertentu ke jabatan lainnya yang ditetapkan dalam sebuah kebijakan yang bersifat Compulsary. Sementara itu, istilah mutasi dalam arti perpindahan, lebih memiliki pengertian teknis yaitu tentang bagaimana mengatur mekanisme pemindahan pejabat yang terkena kebijakan perputaran jabatan.

Dari gambaran tadi, maka yang menjadi obyek rotasi ataupun mutasi adalah pejabat baik struktural maupun fungsional.

Pada kesempatan ini saya tidak akan mengajak Saudara-saudara untuk mendalami rotasi ataupun mutasi dalam konteks teknis peraturan perundang-undangan. Saya justru ingin mengajak Saudara-saudara untuk mendekati hal tersebut dari latar belakang filosofi konsep kebijakan publik yang mendasari dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai rotasi atau mutasi.

Peranan Rotasi Dalam Sistem Penyelenggaran Kepegawaian

Rotasi memiliki peranan penting dalam sistem penyelenggaraan kepegawaian dari sebuah organisasi. Paling tidak ada 3 (tiga) manfaat/kepentingan yang dapat ditarik dari rotasi, yaitu kepentingan dinas, kepentingan pejabat yang bersangkutan, dan kepentingan publik. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Kepentingan Dinas (Re. Psl. 22 UU Nomor 43 Tahun 1999)

Perputaran jabatan merupakan alat yang dapat digunakan oleh manajemen perkantoran untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan antara lain:

a. Sebagai sarana evaluasi penugasan pejabat.

Rotasi adalah alat yang penting dan efisien bagi pimpinan kantor untuk melakukan penilaian terhadap pejabatnya, apakah kinerja yang bersangkutan meningkat atau menurun dari jabatan lainnya yang pernah dipegangnya. Dari evaluasi ini pimpinan kantor akan mengetahui kecocokan jabatan yang paling tepat untuk diberikan kepada stafnya, sesuai dengan disiplin ilmu, keterampilan, dan karakter yang dimiliki. Dengan demikian, pimpinan dapat menempatkan pejabatnya pada jabatan yang paling tepat sesuai dengan kemampuannya (The right man on the right place). Tanpa melakukan rotasi, maka pimpinan unit kerja tentu tidak akan pernah tahu kemampuan dan kinerja pejabatnya.

b. Sebagai sarana meningkatkan produktivitas kerja.

Melalui rotasi, pimpinan unit kerja akan tahu keunggulan dan kelemahan kinerja pejabatnya. Dari evaluasi/penilaian atas keunggulan dan kelemahan ini, maka pimpinan dapat menempatkan stafnya dalam jabatan yang tepat. Dengan demikian, produktivitas kerja yang bersangkutan akan maksimal pada jabatan barunya, dan pada gilirannya kantor akan mendapatkan manfaat berupa meningkatnya produksi (out come).

c. Sebagai sarana pembinaan PNS.

Manfaat lain bagi kedinasan, rotasi dapat dijadikan sebagai alat untuk membina pegawai. Sebagai contoh, pejabat yang ditempatkan pada jabatan tertentu ternyata telah sering melakukan kesalahan, maka pimpinan dapat melakukan pembinaan dengan merotasi yang bersangkutan pada jabatan lain.

d. Sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Re. Psl. 9 PP Nomor 100 Tahun 2000).

Rotasi dapat digunakan pula sebagai sarana untuk memperkokoh NKRI. Pelaksanaannya dilakukan dengan memberikan kemungkinan untuk memindahkan pejabat dari satu daerah ke daerah lainnya di seluruh NKRI. Misalnya pejabat Bappeda Provinsi Papua dipindahkan ke Provinsi Riau, atau pejabat Kabupaten Tangerang ke jabatan tertentu di Provinsi Sulawesi Utara dan sebagainya. Melalui cara ini, maka para pejabat terikat dalam rasa persatuan dan kesatuan kerja dalam bingkai NKRI.

2. Kepentingan Pegawai.

Bagi pegawai, rotasi memiliki beberapa manfaat yaitu:

a. Memperluas pengalaman dan kemampuan.

Dengan banyaknya perpindahan jabatan yang dialami oleh pegawai, maka dapat dipastikan yang bersangkutan akan memiliki banyak pengalaman. Pengalaman tersebut, diharapkan akan meningkatkan kemampuan baik pengetahuan (knowledge) maupun keterampilan (skill).

b. Menghilangkan hambatan psikologis pejabat.

Rotasi akan dapat memberikan kesegaran baru bagi pejabat. Rasa jenuh dan depresi yang menghimpit karena kelamaan bekerja pada jabatan tertentu diharapkan akan hilang, setelah dilakukan rotasi. Suasana kerja baru diharapkan dapat memicu motivasi untuk maju dan mendatangkan tingkat produktivitas kerja yang lebih baik lagi. Tantangan-tantangan baru dari tugas di jabatan baru, diharapkan akan mendorong yang bersangkutan untuk bekerja lebih giat lagi.

3. Kepentingan Publik.

Bagi publik (masyarakat) rotasi diharapkan akan memberikan keuntungan antara lain cepatnya layanan jasa kepada mereka. Pegawai/pejabat yang terlepas dari kejenuhan dan merasa fresh dalam menjalankan tugasnya yang baru akan memberikan pelayanan yang jauh lebih baik daripada mereka yang selama bertahun-tahun melakukan pekerjaan yang sama di tempat yang sama pula.

Ekses Tidak Adanya Rotasi

Dari gambaran arti penting rotasi tadi, maka Saudara-saudara akan dapat membayangkan tentang bagaimana jika sebuah kantor tidak pernah ada kebijakan rotasi. Berikut ini, saya berikan gambaran ekses dari tidak adanya rotasi.

1. Kontrak mati

Istilah ini memang agak kasar untuk ditampilkan, tetapi bagi saya, justru kata inilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ekstrem dari tidak adanya kebijakan rotasi dalam suatu organisasi. Pegawai yang sampai dengan pensiun bekerja pada satu unit kerja tertentu, tanpa merasakan pengalaman bekerja pada unit kerja lainnya menurut saya adalah seorang yang sangat perkasa. Tentu yang bersangkutan adalah orang yang sangat kuat karena mampu menahan kejenuhan dan depresi yang luar biasa. Bagi mereka yang tidak tahan, pengalaman menunjukkan banyak pula yang meninggal dunia di pertengahan perjalanan, sebelum yang bersangkutan memasuki masa pensiun. Kondisi inilah yang saya sebut dengan Kontrak mati.

2.Chauvinisme sempit

Ekses negatif lain dari tidak pernahnya seorang pegawai bekerja pada unit kerja lainnya, adalah timbulnya apa yang disebut chauvinisme sempit. Bekerja dan menikmati pengalaman kerja pada unit kerja yang sama, selama bertahun-tahun tanpa merasakan pengalaman kerja di tempat lain, akan dapat menimbulkan perasaan bahwa tempat yang bersangkutan bekerja adalah unit kerja yang paling hebat. Kebanggaan dan kesetiaan yang tumbuh terhadap unit kerjanya akan menimbulkan anggapan unit-unit kerja lainnya sebagai unit kerja yang tidak sehebat unit kerja dimana selama ini yang bersangkutan bertugas. Kondisi seperti ini akan menjadi lebih buruk lagi, jika pejabat yang bersangkutan merasa dirinya paling hebat, karena tidak pernah melihat kinerja orang lain di tempat lain. Kalau diamati, pejabat seperti ini seolah-olah seperti “katak dalam tempurung”. Ini sangat berbahaya dan tidak baik bagi budaya kerja dan kelangsungan kerja organisasi secara keseluruhan.

3. Kejenuhan dan Depresi

Lamanya seorang bertugas pada jabatan tertentu akan mengakibatkan kejenuhan dan depresi. Akibat lebih lanjut dari kondisi ini terhadap organisasi, tentu saja akan mengakibatkan produktivitas kerja menurun. Sudah barang tentu, ini merupakan kerugian bagi organisasi.

4. Rotasi / Mutasi adalah hukuman

Tidak adanya kebijakan rotasi atau sangat jarangnya dilakukan rotasi / mutasi, dapat menimbulkan efek negatif bagi suasana kejiwaan pegawai/pejabat. Apabila pada suatu saat, kemudian organisasi melakukan mutasi kepada satu pejabatnya (apakah dalam tataran eselon yang sama dan bahkan lebih tinggi/promosi sekalipun), maka pegawai/pejabat yang dipindahkan dan para pegawai/pejabat lainnya akan menilai bahwa itu adalah “hukuman” atas kesalahan yang dilakukan, atau yang bersangkutan memang tidak disukai. Bagi yang tidak dipindahkan mungkin akan berpikir “salah apa dia?”.

Strategi Keberhasilan Kebijakan Rotasi

Dari gambaran di atas, maka rotasi perlu diadopsi menjadi suatu kebijakan dalam sistem penyelenggaraan kepegawaian dari suatu organisasi. Agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik, di bawah ini disampaikan beberapa strategi sebagai berikut:

1. Kebijakan rotasi perlu diformalkan dalam sebuah Undang-Undang;
2. Perlu adanya sosialisasi yang terus menerus mengenai kebijakan rotasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;
3. Seluruh pegawai harus “legowo”? menerima kebijakan rotasi. Siapapun harus siap ditempatkan pada posisi/jabatan yang berbeda;
4. Para pimpinan harus rela melepas anak buah terbaiknya untuk pindah dari lingkungan unit kerjanya, ke unit kerja lainnya;
5. Semua stakeholders dalam organisasi maupun di luar organisasi harus memiliki persepsi yang sama akan kebaikan konsep kebijakan rotasi.

Kesimpulan

1. Rotasi perlu dilakukan untuk kepentingan organisasi, pejabat yang bersangkutan maupun masyarakat. Oleh karena itu, rotasi harus dijadikan kebijakan yang wajib diterapkan dalam setiap organisasi pemerintah termasuk di Sekretariat Negara.
2. Perlu kearifan semua pihak untuk menerima konsep kebijakan rotasi sebagai hal yang positip.

Makalah disampaikan pada Program Pembinaan Sumber Daya Manusia di Lingkungan Sekretariat Wakil Presiden, Kamis, tanggal 31 Agustus 2006.

* Sumber : www.setneg.go.id