Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Kamis, 19 November 2009

JAWA BARAT PROVINSI PENDIDIKAN


PADA pembelajaran sejarah, masa sejarah ditandai dengan adanya (ditemukan) tulisan. Selama belum ditemukan tulisan, zaman tersebut diklasifikasikan ke masa prasejarah, masa sebelum sejarah. Ditemukannya prasasti Kutai di Kalimantan Timur berangka tahun 400 Masehi dijadikan penanda bangsa Indonesia memasuki era sejarah.

Apabila tarikan historis diadesifkan dengan Jawa Barat, tidak dapat tidak, daerah ini kaya peninggalan sejarah (prasasti) seperti: prasasti dari Kerajaan Tarumanagara, Sunda dan Galuh. Prasasti tersebut menjadi penanda, akar budaya membaca dan menulis masyarakat tertanam sejak lama.

Pada tarikan aplikatif kekinian, dalam perspektif mentifack, sangatlah logis tingkat keberbacaan masyarakat Jawa Barat tinggi. Bertebarannya institusi pendidikan, dari prasekolah sampai perguruan tinggi ternama adalah pembenar obyektifnya.

Karena itu, ‘peringatan’ Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan pada Hari Pemberantasan Buta Aksara Iternasional Tingkat Jawa Barat Ke-44 di Kota Cirebon, 22 Oktober 2009 menjadi penting dicermati. Kenapa?

Tingkat ketidakberbacaan warga Jawa Barat, sekitar 400.000 jiwa atau 1,1 % dapat dikatakan kecil dari total penduduk. Apalagi, angka buta huruf nasional menajak prosentase 5,7 % alias 9,7 juta penduduk Indonesia.

Peningkatan SDM
Peringatan Heryawan, dalam pandangan saya dapat dilajukan kepada semangat peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Bagaimanapun komparasi statistikal bisa jadi sangat kecil. Tetapi, angka 400.000 jiwa melebihi penduduk Kesultanan Brunai Darussalam.

Pertama, apabila Jawa Barat berhasil menuntaskan masalah buta huruf, bukan saja berarti penanda kesuksesakan pembangunan SDM, tetapi memanah ke peningkatan kualitas SDM. Kualitas SDM adalah garansi menuju masyarakat sejahtera.

Kedua, peningkatan kualiatas SDM mendapat momen sangat bagus. Alokasi anggaran bidang pendidikan 20% dalam APBN dan APBD, bukanlah bunga-bunga politik, tetapi betul-betul aplikasi komitmen. Faktor dana yang selama ini dijadikan kambing hitam kehilangan taji, bukan alasan lagi.

Ketiga, Jawa Barat adalah ‘Provinsi Pendidikan’. Ragam institusi pendidikan dengan SDM mumpuni adalah ciri kuat semangat pendidikan. Bahkan, universitas pendidikan bergensi nasional, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) berkedudukan di jantung Jawa Barat, Bandung. Bergandengan dengan berbagai perguruan tinggi lainnya, tidak ada alasan Jawa Barat kesulitan mengatasi buta aksara.

Keempat, sebagai institusi teknis, Dinas Pendidikan Provinsi, Kota, dan Kabupaten tentulah mempunyai program mendasar. Masalahnya adalah, bagaimana dengan juga mengandeng lembaga-lembaga kemasyarakatan mengganyang buta huruf. Dengan kata lain, inisiatif koordinatif menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan.

Inovator-motivator-fasilitator
Pada diskusi kecil-kecilan, disela rehat perkuliahan di UPI ada cuatan semangat, bagaimana menjadikan Jawa Barat bukan saja ‘Provinsi Pendidikan’, tetapi lebih meningkatkan peran inovator, motivator, sampai fasilitator bagi pemajuan pendidikan nasional. Bahwa hal tersebut sudah mengemukan, sesuatu yang tidak terbantahkan. Tetapi, tentunya formulasi peningkatan adalah tantangan menakjubkan.

Artinya, diskusi-diskusi di UPI bukan saja pada tataran akademis-teoritik. Ide bagus, gagasan brilian, konsep membuai tentu akan kehilangan makna kalau terbiarkan stagnan di ranah pemikiran. Bagaimna mengaplikasikannya tentu lebih penting.

Satu pemikiran yang perlu diasah, bagaimana dinas terkait, dalam pemberantasan buta aksara lebih merelakan kepercayaan keapada masyarakat. Artinya, pemerintah berdasarkan kajian kondisi obyektif membuat program dan pelaksanaan ‘diserahkan’ kepada institusi pendidikan negara, pesantern, sampai LSM.

Panah sasarannya melibatkan komponen masyarakat. Dalam kegiatan ‘pemberantasan’ kiprah adalah milik dan tanggung jawab bersama. Tidak valid lagi ketika intansi yang menyandang tanggung jawab bekerja kesunyian, dendang harmoni kebersamaan adalah lagu partisipasi. Kebersamaan itulah andalan kiprah efektif. Hingga, langkah lanjut dapat diayun. Bisa saja pemberantasan buta aksara melaju kencang, tetapi apa sesudah itu? Bukankah menjaga kemampuan membaca menuntut ketersediaan apa yang akan dibaca?

Kalau itu dipahami dan dimaknai secara radiks, ada kalangan yang berkewajiban menulis apa yang akan dibaca. Pada ranah ini, tanggung jawab dipundak mereka yang berpendidikan. Bagaimana dengan kondisi obyektif?

Tidak masalah. Bisa jadi, kita ‘kelebihan’ orang terdidik. Kalau pertanyaan dilajukan, bagaimana kemampuan menulis para terdidik? Diskusi bisa jadi akan sangat berkepanjangan. Produk ‘otak’ kita dalam menulis secara nasional tergolong memperihatinkan.

Jangankan dibanding negara maju. Dari Vietnam yang baru kemarin sore ‘aman’, misalnya, produksi buku, sarana bacaan, kalah jauh. Apalagi dengan negara-negara maju. Kalau ‘pemberantasan’ kemandulan menulis menjadi agenda Gubnernur Jawa Barat tentu sangat mengembirakan.

Kalau tidak, bisa jadi menjadi lelucon, hidup di era moderen tetapi kemampuan menulis bak masa prasejarah. Bagaimana Pak Gubernur? Berani menerima tantangan peningkatan kualitas SDM Jawa Barat ala non-prasejarah?

Bagaimana menurut Sampeyan para juragan??

Tidak ada komentar: